Pages

Friday, November 12, 2010

Babak Baru, Tabiat Lama

Jumat, 12 November 2010 | 09:26 WIB
KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO
Gunung Merapi kembali mengeluarkan awan panas terlihat dari Dusun Gondang, Desa Balerante, Kecamatan Kemalang, Klaten, Jawa Tengah, Selasa (2/11/2010). Aktivitas Gunung Merapi yang terus meningkat dengan tanda-tanda mengeluarkan awan panas dan guguran lava sehingga masih membahayakan dan tetap pada status awas.

KOMPAS.com — Skala dan pola letusan eksplosif Gunung Merapi di Yogyakarta tahun ini meninggalkan kelaziman erupsi Merapi setidaknya selama 138 tahun terakhir.

Pola erupsi Merapi selama ini dikenal ”kalem”, tidak meledak-ledak, dengan pembentukan kubah lava yang longsor menjadi guguran ataupun luncuran awan panas skala kecil hingga menengah (terjauh 8 kilometer).

Semua tersentak saat Gunung Merapi meletus dahsyat pada 26 Oktober 2010. Tiga dentuman hebat disertai gelombang luncuran awan panas bersuhu 600 derajat celsius berdurasi maksimal 33 menit meluncur sejauh 8 km, meluluhlantakkan segala yang dilintasinya.

Kemudian ternyata rangkaian letusan lain susul-menyusul terjadi, yang memuncak (hingga saat ini) pada erupsi tiada henti sejak 3 November hingga 7 November. Guguran material dan awan panas terjadi tiada putus diselingi gemuruh yang terdengar hingga radius 30 km.

Hujan pasir menjangkau radius 15 km dan hujan abu merembet hingga Jawa Barat. Letusan pada 4 November bahkan menciptakan kolom asap setinggi 8 km dari puncak. Rangkaian letusan menciptakan kawah berdiameter 400 meter di sisi selatan.

Jarak luncur awan panas terjauh selama periode lima hari erupsi itu tercatat sejauh 14 km di Dusun Bronggang, Argomulyo, Cangkringan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Korban jiwa melonjak dari 36 orang pada letusan 26 Oktober menjadi 151 orang hingga Selasa (9/11/2010).

Pada rangkaian erupsi itu Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dua kali menaikkan radius bahaya primer dari semula 10 km menjadi 15 km (3 November) pukul 15.55 dan dari 15 km menjadi 20 km pada pukul 01.00 (5 November).

Badan Geologi memperkirakan, volume material vulkanik yang dimuntahkan Merapi selama 26 Oktober-9 November mencapai 140 juta meter kubik. Jumlah itu 10 kali lebih besar daripada volume erupsi 2006.

Benarkah Merapi meninggalkan kelaziman erupsi efusif yang dikenal warga?

Berubah-ubah

Jika kita membuka berbagai referensi, sejak pertama muncul sebagai gunung pada sekitar 60.000 tahun lalu, Merapi sebenarnya tidak memiliki satu pola letusan sama. Ia berubah-ubah sepanjang periode sejarah, dari model ekstrusi lava secara efusif hingga erupsi eksplosif. Mulai abad ke-19, tren eksplosif semakin besar. Mulai abad ke-20, Merapi memasuki interval aktivitas rendah.

Para peneliti vulkanologi jauh-jauh hari telah memperkirakan rangkaian letusan efusif (luncuran) yang seolah menjadi ciri khas Merapi sejak tahun 1900-an hanyalah kondisi sementara. Letusan Merapi yang eksplosif akan terjadi lagi. Hal itu menjadi kesimpulan penelitian para vulkanolog dalam dan luar negeri yang terangkum dalam Journal of Volcanology and Geothermal Research edisi 100 terbitan tahun 2000 dengan laporan utama berjudul ”10.000 Years of Explosive Eruptions Merapi Volcano, Central Java: Archaelogical and Modern Implications”. Data geologi telah menunjukkan hal itu.

Tahun 1800-1900-an, aktivitas Merapi direkam cukup lengkap oleh naturalis Junghun, vulkanolog Bemmellen, Hartmann, hingga Neumann van Padang. Sayangnya, informasi dan catatan dokumentasi terkait perilaku Merapi tersebar dan tidak terdokumentasi dengan baik. Padahal, catatan lengkap dari abad ke abad itu penting untuk keperluan riset, pemantauan lebih lanjut, dan terutama untuk penyusunan program mitigasi.

Dampak letusan eksplosif akan sangat fatal mengingat kepadatan penduduk di lereng Merapi sekarang. Ancaman bahaya semakin besar karena hingga kini tidak ada satu metode pasti yang bisa digunakan untuk memprediksi kapan letusan besar muncul. Sementara itu, masyarakat yang telanjur terbiasa dengan pola erupsi efusif tidak mengetahui ancaman yang mereka hadapi.

Sedahsyat apa pun dampak letusan Merapi, masyarakat tetap akan kembali menghuni lerengnya. Ada ikatan sosial, budaya, dan ekonomi yang tidak bisa lepas. Antropolog Universitas Gadjah Mada, PM Laksono, mengatakan, masyarakat Merapi menyikapi alam dengan mencoba memahami gejalanya. Dalam posisi inilah, ilmu pengetahuan menghadapi tantangan berkembang dalam upaya menjelaskan berbagai gejala alam.

Kirbani Brotopuspito, Guru Besar Fisika dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Gadjah Mada, mengatakan, pemantauan Merapi harus diperkuat. Selain badan vulkanologi, universitas yang memiliki lembaga riset juga perlu membantu. (ENG/DOT)

Editor: A. Wisnubrata | Sumber: Kompas Cetak

Thursday, November 11, 2010

Magma di Perut Merapi Perlu Dicermati

Magma di Perut Merapi Perlu Dicermati
Letusan Gunung Merapi dilihat dari manisrenggo, Klaten, Rabu (10/11). (ANTARA/Akbar Nugroho Gumay)
Yogyakarta (ANTARA News) - Letusan Gunung Merapi yang terus menerus sulit diprediksi. Namun, yang perlu dilakukan adalah mencermati magma yang terkandung di dalam perut gunung ini.

"Langkah yang perlu dilakukan saat ini adalah memperkirakan magma yang masih terkandung di perut bumi, khususnya di dalam perut Gunung Merapi," kata ahli vulkanologi dari Universitas Kyoto, Jepang Masato Iguchi, di Yogyakarta, Rabu.

Menurut dia, masalah seperti ini sering ditemui di berbagai letusan gunung berapi lainnya, bukan hanya Gunung Merapi. "Oleh karena itu, ke depan yang juga perlu dicermati adalah kondisi magma di perut Merapi," kata Iguchi di kantor Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta.

Meski demikian, ia memuji langkah yang diambil Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), karena mampu melakukan prediksi cukup tepat sebelum terjadi letusan pada 26 Oktober 2010, dimana sehari sebelumnya PVMBG memutuskan menaikkan status aktivitas Merapi dari "siaga" menjadi "awas".

"Merupakan langkah tepat dari PVMBG yang menaikkan status menjadi `awas`," kata dia yang berencana membantu memantau letusan gunung di perbatasan wilayah Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ini.

Selain Iguchi, akan ada satu doktor ahli di bidang penyakit saluran pernapasan yang akan ikut membantu menangani penyakit saluran pernapasan akut (ISPA) warga yang menjadi korban Merapi. Mayoritas para pengungsi di tempat-tempat pengungsian kini terkena ISPA.

Sejumlah ahli vulkanologi dari dalam dan luar negeri seperti Jepang, Amerika Serikat, Prancis, dan Indonesia sendiri akan membantu pelaksanaan pemantauan Merapi, karena gunung itu merupakan laboratorium alam yang terbuka bagi siapa pun.

Gunung Merapi pada 26 Oktober 2010 dan 5 November 2010 meletus, sehingga menyebabkan 106 warga yang berada di kawasan gunung teraktif di Indonesia dan bahkan termasuk paling aktif di dunia itu, tewas.

Sedangkan korban yang mengalami luka bakar yang masih dirawat di Rumah Sakit (RS) Dr Sardjito Yogyakarta sebanyak 26 orang, dan korban nonluka bakar 57 orang. Total korban terluka yang masih dirawat di rumah sakit ini sebanyak 83 orang.

Tim Forensik RS Dr Sardjito dan tim Disaster Victim Identification (DVI) Polda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) berhasil melakukan identifikasi 49 korban yang meninggal dunia akibat letusan Merapi yang ditemukan di lokasi kejadian.

Sementara itu, di pos antemortem DVI Polda DIY sejak Jumat (5/11) menerima laporan mengenai 233 orang hilang. Jumlah korban yang meninggal dunia akibat bencana letusan gunung ini kemungkinan masih akan terus bertambah, karena TNI bersama relawan masih terus melakukan pencarian dan evakuasi korban.

Tetap waspada

Intensitas erupsi Merapi, Rabu, menurun, namun masih mengeluarkan suara gemuruh, sehingga warga diminta tetap waspada.

Keterangan dari Badan Geologi Kementerian ESDM menyebutkan data tersebut merupakan pemantauan sejak pukul 00.00 WIB hingga pukul 06.00 WIB.

Dalam pemantauan selama enam jam itu tercatat ada dua kali gempa vulkanik, guguran lima kali, dan tremor yang terjadi beruntun, sedangkan gempa "multiphase" (MP) atau gempa permukaan, "low frequency", awan panas, dan gempa tektonik tidak ada catatan.

Pada 9 November 2010 ada tujuh kali gempa vulkanik, empat kali gempa low frequncies, 35 kali guguran, dua kali awan panas, dan dua kali gempa tektonik, namun tidak ada catatan gempa MP.

Berdasarkan laporan dari pos pengamatan Gunung Merapi di Ketep menyebutkan sejak dini hari hingga Rabu pagi secara visual Merapi terlihat jelas. Asap Merapi condong ke barat dengan ketinggian 500 meter pada pukul 01.07 WIB. Ketinggian asap meningkat menjadi 800 meter pada pukul 03.58 WIB.

Asap putih kecokelatan yang mengarah ke barat laut tampak pada pukul 05.06 WIB. Suara gemuruh yang kemarin intensitasnya keras-sedang, Rabuintensitasnya sedang-lemah. Pengamat mendengar gemuruh Merapi pada pukul 00.15 WIB, pukul 01.07 WIB, dan pukul 03.58 WIB.

Teramati pula endapan lahar di semua sungai yang berhulu di puncak Merapi dari arah tenggara, selatan, barat daya, barat dan barat laut yang meliputi Kali Woro, Kali Kuning, Kali Boyong, Kali Bedog dan Kali Krasak.

Aktivitas kegempaan dan gemuruh menunjukkan aktivitas gunung ini masih tinggi. Dengan kondisi tersebut, status aktivitas Merapi belum diturunkan, atau tetap pada tingkat "awas". Ancaman bahaya gunung ini masih berupa awan panas dan lahar.

Masyarakat diminta tetap menjaga jarak aman 20 kilometer dari puncak Merapi. Masyarakat juga diminta tidak panik dan terpengaruh dengan isu yang beredar dengan mengatasnamakan instansi tertentu mengenai aktivitas gunung ini. Warga diimbau tetap mengikuti arahan dari pemerintah daerah setempat yang selalu berkoordinasi dengan PVMBG.

Kepala PVMBG Badan Geologi Surono mengatakan ancaman awan panas dan lahar dingin Merapi masih ada, sehingga masyarakat harus tetap menjauhi kawasan rawan bencana (KRB).

"Pada dasarnya subjek dalam mitigasi bencana yang terpenting adalah sikap kooperatif masyarakat," katanya saat memaparkan kondisi terkini Gunung Merapi di hadapan rombongan Komisi VIII DPR yang dipimpin Abdul Kadir Karding, di Kepatihan Yogyakarta, Rabu.

Menurut dia, meskipun intensitas letusan Merapi mulai menurun, aktivitasnya masih tinggi. Aktivitas Merapi sampai saat ini masih dinyatakan dalam status "awas", dan radius aman masih dalam jarak di luar 20 kilometer dari puncak gunung.

"Kami masih sulit memprediksi sampai kapan energi dan tekanan dari dalam Merapi akan berakhir. Merapi masih sangat fluktuatif, kadang letusannya membesar, kemudian mengecil," katanya.

Ia mengatakan, hal tersebut seperti yang terjadi pada 3-8 November 2010, dengan letusan terbesar pada 5 November.

Namun demikian, kata dia, pihaknya belum bisa memastikan itu merupakan puncak letusan Merapi. "Meskipun letusan Merapi yang terjadi saat ini pada ketinggian antara 500 hingga 1.000 meter, atau maksimal 2.000 meter, energi dan tekanan magma di perut Merapi masih cukup besar," katanya.

Menurut dia, keluaran awan panas saat ini kurang dari tiga menit, tetapi jarak luncurnya bisa sangat jauh. Dulu dalam waktu tujuh menit jarak luncurnya kurang dari 2-3 kilometer, tetapi sekarang dalam waktu yang sama jaraknya lebih jauh.

"Awan panas di Kali Gendol sudah sampai sejauh 15 kilometer, karena jalannya sudah sangat mulus seperti jalan tol. Jadi, jika ada awan panas, luncurannya bisa lebih jauh lagi," katanya.

Oleh karena itu, pihaknya mengimbau masyarakat termasuk relawan untuk mengutamakan keselamatan dan tidak mendekati daerah rawan, bahkan dengan alasan penyisiran dan evakuasi jenazah korban.

"Meskipun sulit dilakukan, saya memberikan rekomendasi kepada para relawan yang melakukan penyisiran di daerah rawan untuk bisa mengutamakan keselamatannya, karena setiap saat awan panas bisa muncul," katanya.

Tak beri kontribusi

Ketua Komisi IX DPR dr Ribka Tjiptaning menilai selama hampir seminggu berada di Yogyakarta, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) belum memberikan kontribusi dalam penanggulangan bencana letusan Merapi. "Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pergi saja dari daerah bencana ini," katanya, di Stadion Maguwoharjo, Rabu.

Menurut dia, pemerintah daerah sudah mampu mengatasi bencana Merapi, dan keberaadaan BNPB justru semakin membuat kebijakan menjadi terlalu formal dan birokratis.

"Pemerintah daerah saat ini lebih tahu apa yang terjadi dan harus bagaimana. Selain itu, pemerintah daerah juga memiliki sistem yang baik untuk mengatasi bencana ini, keberadaan BNPB justru memperlambat dalam menangani bencana," katanya.

Ia mengatakan pemerintah sendiri sudah memberikan tambahan dana sebesar Rp200 miliar kepada BNPB untuk menangani Merapi. "Namun, sampai saat ini belum sepeserpun yang dialokasikan ke pemerintah daerah. Saya kira dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pindah kantor ke Yogyakarta, persoalan jadi lebih mudah. Namun, kenyataannya kok semakin rumit," katanya.

Untuk itu, agar lebih tepat sasaran, maka serahkan saja persoalan ini kepada pemerintah daerah, karena mereka juga kepanjangan tangan dari pemerintah pusat. "Pemerintah daerah itu hanya butuh sokongan dana," katanya.

Ribka mengatakan, pihaknya juga mempersoalkan operasional BNPB saat berada di Yogyakarta. "Mereka tidurnya di hotel, dari pada anggaran habis untuk operasional, lebih baik langsung saja berikan ke pemerintah daerah," katanya.

Ia mengatakan BNPB sendiri juga tidak memiliki data akurat mengenai pengungsi yang dapat berdampak serius bagi mereka. "Saat ini barak-barak pengungsi menyebar kemana-mana, BNPB apakah memiliki data itu? Itu hanya pemda yang tahu secara detail," katanya.

Sementara itu, anggota DPRD Kabupaten Sleman, DIY, Rendradi Suprihandoko menambahkan belum ada kontribusi serta nilai tambah selama BNPB ada di daerah bencana. "Semua justru semakin lambat karena sangat birokratis dan formal," katanya.

BNPB sebaiknya jadi kementerian

Ketua Komisi VIII DPR Abdul Kadir Karding mengatakan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sebaiknya dijadikan Kementerian Penanggulangan Bencana, karena wilayah Indonesia rawan bencana.

"Pemerintah sudah saatnya memikirkan pembentukan Kementerian Penanggulangan Bencana yang mempunyai garis instruksi sampai ke bawah," katanya usai mendengarkan paparan mengenai kondisi terkini Gunung Merapi, di Kepatihan Yogyakarta, Rabu.

Ia mengatakan Kementerian Penanggulangan Bencana perlu dibentuk, karena BNPB terkesan berdiri sendiri, dan tidak mempunyai "kaki" hingga ke bawah.

Kondisi itu, menurut dia menyebabkan koordinasi dalam penanggulangan bencana sering berjalan lambat, peralatan pendukung tidak ada, personel kurang, dan garis instruksi tidak jelas.

"Hal itu mengakibatkan kita sulit menanggulangi bencana secara cepat. Oleh karena itu, perlu dibentuk Kementerian Penanggulangan Bencana yang diharapkan dapat melaksanakan tugas itu secara cepat dan baik," katanya.

Selain itu, menurut dia, anggaran untuk penanggulangan bencana juga perlu dinaikkan, sehingga dapat "bergerak" lebih cepat dan baik. Anggaran untuk penanggulangan bencana idealnya Rp10 triliun.

"Anggaran sebesar itu digunakan untuk mitigasi bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi serta rekonstruksi pascabencana," kata Ketua DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini.

Ia mengatakan dalam masa tanggap darurat bencana Gunung Merapi di DIY dan Jateng, pemerintah daerah perlu memperhatikan dan mengawasi kesehatan puluhan ribu pengungsi yang telah menghuni tempat penampungan selama hampir dua pekan.

"Pemerintah daerah juga diminta memiliki posko pendataan pengungsi agar pemenuhan kebutuhan di setiap tempat penampungan dapat segera dipenuhi," katanya.



Lumpuhkan perekonomian

Bencana letusan Gunung Merapi menyebabkan perekonomian di tiga kecamatan di Kabupaten Sleman, DIY, lumpuh total, sehingga menyebabkan kerugian besar.

"Tiga kecamatan yang rusak paling parah yaitu Turi, Pakem, dan Cangkringan. Perekonomian di tiga kecamatan itu kini lumpuh total, karena ratusan industri saat ini tidak bisa berproduksi," kata Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi (Disperindagkop) Kabupaten Sleman Pranowo, di Sleman, Rabu.

Menurut dia, jumlah kerugian akibat tidak beroperasinya sejumlah industri yang berada di ketiga kecamatan tersebut hingga kini belum diketahui. Kemungkinan mencapai puluhan miliar rupiah

"Perkiraan kami kerugiaan mencapai puluhan miliar rupiah, karena industri-industri yang berada di radius 20 kilometer dari puncak Gunung Merapi sudah tidak bisa produksi. Kami masih melakukan inventarisasi dan akan mendata kerugian," katanya.

Ia mengatakan inventarisasi tersebut meliputi bahan baku industri, stok barang, dan peralatan produksi. "Setelah inventarisasi selesai kami akan melaporkan ke Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta untuk dimintakan bantuan ke pemerintah pusat, terutama untuk alat-alat industri yang rusak saja. Kalau tidak, nanti hanya akan mendapatkan bahan baku dan stok barang," katanya.

Pranowo mengatakan dari pendataan Disperindagkop Sleman di Kawasan Rawan Bencana (KRB) III untuk Kecamatan Cangkringan di Umbulharjo ada 110 industri dengan nilai produsksi Rp6,87 miliar, Kepuharjo ada 79 industri dengan nilai produksi Rp6 miliar. Kemudian Umbulharjo 110 industri dengan nilai produski Rp7 miliar dan Glagaharjo 102 industri dengan nilai produski Rp7,5 miliar.

Sementara itu, untuk Kecamatan Turi ada 281 indutri dengan nilai produksi Rp14,8 miliar dan Pakem ada 109 industri dengan nilai produksi Rp6 miliar, katanya.

Kalangan pengungsi di tempat pengungsian yang mempunyai sapi mati akibat letusan awan panas Gunung Merapi di Kabupaten Sleman, DIY, meminta pemerintah segera merealisasikan janji penggantian sapi milik mereka.

"Kami senang ada kabar pemerintah berjanji mau mengganti sapi milik warga yang menjadi korban letusan awan panas Gunung Merapi. Namun ini hingga kini pendataan belum ada," kata Sarjono (51), warga Glagaharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman yang mengungsi di Stadion Maguwoharjo Sleman, Rabu.

Ia mengatakan lebih dari 450 ekor sapi di desanya mati akibat letusan awan panas gunung yang terletak di perbatasan Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. "Sapi milik warga semua mati terekan awan panas erupsi Merapi. Kami minta pendataan melibatkan kepala dusun agar data yang diperoleh akurat," katanya.

Sarjono mengaku meskipun harga pembelian sapi yang ditetapkan pemerintah lebih rendah dari harga pasaran, maka semua warga dipastikan bersedia menerima tawaran pemerintah. "Warga menerima tawaran pemerintah daripada sama sekali tidak diganti. Kalau nanti Merapi sudah tenang dan warga kembali ke desa bisa untuk memulai ternak sapi lagi nanti kalau," katanya.

Warga di pengungsian mengatakan kisaran harga di pasaran untuk sapi perah dewasa yang produktif berkisar antara Rp 15,5 juta hingga Rp 17,5 juta. Namun pemerintah berencana membeli sapi perah warga seharga Rp 10 juta per ekor, sedangkan penggantian sapi mati diberikan sama seperti membeli sapi hidup.

Namun, mayoritas pengungsi yang sapinya masih hidup berpikir ulang untuk menjual ke pemerintah karena harga yang ditawarkan jauh di bawah harga pasar karena sapi pedaging, misalnya, pemerintah mengalokasikan Rp20.000 per kilogram daging dari harga pasaran yang bisa mencapai Rp50.000 per kilogram. Harga tersebut bisa semakin naik menjelang Hari Raya Idul Adha.

Peternak lain dari Dusun Kepuharjo Salijo (53) mengharapkan pemerintah bisa mengganti delapan sapi perahnya yang mati akibat terjangan awan panas. "Sapi perah bisa menghasilkan 25 liter hingga 35 liter susu per hari dengan harga per liter susu sapi segar Rp3.000," katanya.

Dengan adanya rencana pemerintah akan mengganti sapi korban letusan awan panas Merapi, katanya, bisa membuat warga korban Merapi di tempat pengungsian menjadi tenang "Warga akan tenang dan tidak mikir lagi sapi-sapinya yang mati karena membeli sapi itu juga hasil dari kredit," katanya.

Sebelumnya Menteri Pertanian Suswono mengatakan pemerintah akan membeli semua ternak warga lereng Merapi yang berada di radius 20 kilometer dari puncak Gunung Merapi. Pemerintah menentukan harga sapi milik warga korban bencana erupsi Gunung Merapi di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah, mulai dari Rp5 juta hingga Rp10 juta per ekor.

Penentuan harga sapi hidup itu berdasarkan beberapa kriteria, di antaranya jenis kelamin dan ukuran. Jika para pemilik sapi bersedia, maka pemerintah akan membelinya.

94.615 pengungsi

Pengungsi bencana letusan Gunung Merapi di Kabupaten Sleman sampai 9 November 2010 pukul 19.00 WIB tercatat sebanyak 94.615 orang yang menyebar hingga ke wilayah kabupaten/Kota tetangga di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

"Di wilayah Sleman sendiri tercatat 80.155 orang, dan di luar wilayah Kabupaten Sleman tetapi masih di Provinsi Daerah Istimewa Yogykarta (DIY) sebanyak 14.460 rang," kata Komandan Satlak Penanggulangan Bencana dan Pengungsi Kabupaten Sleman Widi Sutikno, Rabu.

Menurut dia, dari ratusan titik lokasi pengungsi di Sleman terdapat empat titik pengelolaan pengungsi terbesar yakni Stadion Maguwoharjo dengan Ketua Pengelola Camat Pakem Budiharjo, Gedung Youth Center di Kecamatan Mlati dengan Ketua Pengelola Kepala Bagian Pemerintahan Desa Joko Supriyanto, GOR Sleman dengan Ketua Pengelola Kabag Administrasi dan Pengendalian Pembangunan Agung Armawanta serta Masjid Agung Sleman dan sekitarnya dengan Ketua Pengelola Kepala Bagian Kesejahteraan Rakyat Jazim Sumirat.

"Di luar keempat tempat tersebut, semua camat di 14 kecamatan di luar tiga wilayah bencana yakni Turi, Pakem dan Cangkringan menjadi ketua pengelola pengungsi di wilayah masing-masing," katanya.

Ia mengatakan para ketua pengelola tempat pengungsian tersebut bertanggung jawab atas pelaksanaan koordinasi dan pengendalian tempat pengungsi yang di dalamnya menyangkut sarana prasarana, kesehatan, relawan dan dapur umum.

"Pengungsi dari warga Sleman yang berada di luar wilayah Kabupaten Sleman diketuai Dwi Supriyanto yang bertugas memantau pengungsi, tempat pengungsian, data pengungsi, serta kebutuhan logistik, sarana dan prasarana dan kesehatan pengungsi serta mengkoordinasikan penanganan pengungsi dengan Pemerintah Provinsi DIY, pemerintah kabupaten/kota setempat dan tempat pengungsian,` katanya.

Widi mengatakan mekanisme penyaluran logistik dan bantuan kepada pengungsi, dari posko utama di stadion Maguwoharjo dan gudang logistik di gedung eks STM Dikpora Tridadi Sleman, akan dilakukan oleh para ketua pengelola tempat pengungsian.

"Para pengelolala titik-titik pengungsian yang menyebar di beberapa tempat seperti kampus, masjid, rumah penduduk yang memerlukan bantuan dimohon berkoordinasi dengan kepala desa setempat yang akan diakomodasi para pengelola tempat pengungsian," katanya.

Menurut dia, mekanisme ini diperlukan untuk memperlancar pelayanan baik bidang kesehatan, sarana prasarana maupun logistik dan sekaligus untuk pengendalian dari kemungkinan pemanfaatan oleh oknum yang tidak betanggung jawab.

Sementara itu, Pemerintah Provinsi DIY dan Pemerintah Kabupaten Sleman berencana membuat "shelter" untuk para pengungsi korban bencana erupsi Gunung Merapi yang rumahnya rusak dan tidak dapat dihuni lagi.

"Rencana pembuatan `shelter` untuk para pengungsi korban Merapi di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), saat ini masih dalam tahap pembahasan," kata Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X, di Yogyakarta, Rabu.

Menurut dia usai menerima kunjungan Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang dipimpin Abdul Kadir Karding, pembahasan itu menyangkut lokasi, jumlah, dan anggaran untuk pembuatan "shelter".

"Lokasi pembuatan `shelter` akan dibicarakan dengan Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta untuk menentukan zona yang aman dari luncuran awan panas," katanya.

Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, Energi dan Sumber Daya Mineral DIY Rani Sjamsinarsi mengatakan pembuatan "shelter" untuk pengungsi Merapi itu seperti yang dilakukan di Kabupaten Bantul, DIY, ketika terjadi gempa bumi pada 2006.

"Hal itu dimaksudkan agar pengungsi korban Merapi yang tidak mempunyai rumah lagi dapat tinggal di `shelter` sambil menunggu hasil pendataan tanah hunian di kawasan Merapi dinyatakan masih bisa dihuni sebagai tempat tinggal atau tidak," katanya.

Ia mengatakan pada tahap awal rehabilitasi dan rekonstruksi direncanakan dibuat 345 "shelter" bagi warga Kinahrejo dan Kepuharjo, Cangkringan, Kabupaten Sleman. Jumlah itu kemungkinan bertambah, karena masih ada yang belum terdata.

"Kami masih menunggu pelaksanaan tahap rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana erupsi Merapi itu dimulai. Apalagi, saat ini belum ditentukan apakah warga di kawasan rawan bencana III jadi direlokasi atau tidak," katanya.



Pendampingan 2.030 anak pengungsi

Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olah Raga Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta baru bisa melakukan pendampingan sebanyak 2.030 anak usia dini di 20 lokasi pengungsian korban letusan Gunung Merapi.

"Kami hingga kini baru bisa mendampingi 2.030 anak usia dini. Jumlahnya belum bisa lebih dari itu karena lokasinya tersebar," kata Kepala Bidang Pendidikan Nonformal dan Informal Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olah Raga (Disdikpora) Daerah Istimewa Yogyakarta Endra Santoso, di Yogyakarta, Rabu.

Menurut dia, lokasi pengungsian yang tersebar di sejumlah tempat dan terletak cukup jauh menjadi kendala dalam memberi pendampingan anak usia dini yang berada di pengungsian.

Ia mengatakan, jumlah pendamping dari Himpunan Pendidikan Anak Usia Dini (Himpaudi) yang diterjunkan ke pengungsian hingga kini baru 160 orang, namun diupayakan ada tambahan tenaga sehingga lokasi pendampingan bisa semakin banyak.

"Kami juga akan berupaya meminta tambahan alat peraga edukatif ke pemerintah pusat untuk diberikan kepada anak-anak usia dini di tempat pengungsian agar mereka bisa belajar. Kami masih membutuhkan alat peraga edukatif yang banyak," katanya.

Ia memperkirakan ada sebanyak 16.000 siswa pendidikan anak usia dini, taman kanak-kanak, dans ekolah dasar yang terpaksa hidup di pengungsian akibat letusan gunung yang terletak di perbatasan Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta itu.

Disdikpora mencoba bekerja sama dengan berbagai pihak agar anak-anak tersebut bisa mendapatkan pendidikan meskipun berada di pengungsian, katanya.

Dia mengatakan, berdasarkan data, jumlah siswa pendidikan anak usia dini dan taman kanak-kanak mencapai 3.095 orang, sedangkan siswa usia sekolah dasar mencapai 13.080 orang.

Ia mengatakan, pihaknya telah bekerja sama dengan Himpaudi untuk memberikan pendidikan, melakukan permainan edukatif, dan bimbingan psikologis kepada anak-anak usia dini dan taman kanak-kanak.

Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahaga Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) memperkirakan ada sebanyak 16.000 siswa pendidikan anak usia dini, taman kanak-kanak, dan sekolah dasar yang terpaksa hidup di pengungsian akibat letusan Gunung Merapi.

"Kami mencoba berkerja sama dengan berbagai pihak agar anak-anak tersebut tetap mendapatkan pendidikan meskipun berada di pengungsian," kata Koordinator Penanggulangan Bencana Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Dikpora) DIY Sri Widayati di Yogyakarta, Rabu.

Menurut data dari Dinas Dikpora DIY jumlah siswa pendidikan anak usia dini dan taman kanak-kanak mencapai 3.095 orang, sedangkan siswa usia sekolah dasar mencapai 13.080 orang.

Ia mengatakan pihaknya telah bekerja sama dengan Himpunan Pendidikan Anak Usia Dini (Himpaudi) untuk memberikan pendidikan, melakukan permainan edukatif dan bimbingan psikologis kepada anak-anak usia dini dan taman kanak-kanak.

Khusus untuk anak sekolah dasar, ia mengatakan akan berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan di kota dan kabupaten di DIY agar bisa menampung anak-anak usia sekolah yang berada di pengungsian.

"Anak-anak sekolah tersebut diharapkan dapat bersekolah di sekolah terdekat dengan tempat pengungsiannya. Kota dan kabupaten lain menyatakan sudah siap," katanya.

Selain itu, di pengungsian juga terdapat 296 siswa sekolah luar biasa, baik yang mengalami cacat fisik maupun mental.

Bagi siswa yang mengalami cacat fisik, lanjut dia, dapat bergabung dengan SLB terdekat namun bagi siswa dengan keterbelakangan mental akan diupayakan guru pendamping.

Kepala Bidang Pendidikan Nonformal dan Informal Dinas Dikpora DIY Endra Santosa mengatakan baru bisa melakukan pendampingan anak usia dini di 20 lokasi pengungsian dan melayani 2.030 anak usia dini.

Lokasi pengungsian yang tersebar di sejumlah tempat dan terletak cukup jauh menjadi kendala dalam pendampingan anak usia dini. "Jumlah pendamping dari Himpaudi yang diterjunkan ke pengungsian ada sekitar 160 orang, tetapi diupayakan ada tambahan tenaga sehingga lokasi pendampingan bisa semakin banyak," katanya yang akan berupaya meminta tambahan alat peraga edukatif ke pemerintah pusat. (E013*V001*B015/K004)

Tuesday, November 09, 2010

Hujan Abu di Kawasan Barat Puncak Merapi

Hujan Abu di Kawasan Barat Puncak Merapi
Magelang (ANTARA News) - Hujan abu tipis disertai gerimis air turun di berbagai desa terakhir kawasan barat puncak Gunung Merapi di Kabupaten Magelang, Jawa Tengan, Selasa.

Gerimis yang menyertai hujan abu itu antara lain turun di Desa Krinjing, Ngargomulyo, Sumber, Krinjing, dan Mangunsoko, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, sejak sekitar pukul 06.00 hingga 08.30 WIB.

Sejumlah warga yang kembali dari penampungan terutama di kota Kecamatan Muntilan pulang ke dusun masing-masing dengan mengendarai sepeda motor dan mengenakan jas hujan serta masker.

"Sejak sekitar pukul 06.00 WIB tadi saya kena hujan abu," kata Suparno (41), warga Dusun Gemer, Desa Ngargomulyo.

Seorang warga Dusun Tontro, Desa Sumber, Maryono, mengaku kehujanan abu dan air saat memetik ketela di areal pertaniannya di atas kawasan bekas penambangan pasir Desa Keningar sekitar enam kilometer barat puncak Gunung Merapi.

Ia terlihat sempat terpeleset dan jatuh bersama sepeda motor bebeknya saat membawa sekarung ketela melewati jalan penuh tumpukan abu yang licin di kawasan itu.

"Untuk pakan sapi," katanya.

Berbagai dusun terakhir dari puncak Merapi hingga saat ini masih tertutup abu cukup tebal, jalur antara Desa Keningar hingga Krinjing melewati cek dam "Munthuk" di aliran Kali Senowo belum bisa dilalui karena cukup banyak pohon tumbang.

Seorang warga Dusun Kajangkoso, Desa Mangungsoko, Saris, mengatakan, cek dam "Muntuk" di aliran Kali Senowo telah penuh dengan material vulkanik dari Gunung Merapi karena bajir lahar dingin sejak sekitar tiga hari terakhir.

Sekitar tiga hari lalu, katanya, dirinya urung pulang ke kampungnya karena melihat aliran Kali Senowo penuh dengan asap yang diduga berasal dari material Merapi yang terbawa arus air sungai itu.

"Saya siang itu kemudian batal pulang ke rumah karena melihat di Kali Senowo ada asap dari material Merapi," katanya.

Banjir lahar dingin oleh masyarakat setempat disebut sebagai "Banjir Ladhu". Air yang mengalir selain membawa pasir dan batu, juga pohon-pohon yang tumbang.

Bajir "Ladhu" di Kali Senowo telah menutup cek dam "Bendo" di Desa Mangunsoko.

Hingga sekitar pukul 09.00 WIB sejumlah warga hilir mudik menyaksikan cek dam tersebut yang relatif tidak jauh dari jalan penghubung Mangungsoko menuju Pos Pengamatan Merapi di Desa Babadan, Kecamatan Dukun.

Seorang warga Dusun Grogol, Desa Mangungsoko, di kawasan utara Kali Senowo, Maning Sukari (43), mengatakan, hingga saat ini sejumlah warga setempat berjaga di dusun itu pada malam hari.

"Untuk menjaga keamanaan desa sambil tetap mewaspadai kemungkinan Merapi meletus lagi," katanya.

Hingga sekitar pukul 09.30 WIB puncak Gunung Merapi dari sisi barat tertutup awan cukup tebal.
(ANT/A024)

Bendungan Sungai Putih Jebol Dihantam Lahar Dingin

Magelang (ANTARA News) - Bendungan atau dam Sungai Putih di Desa Ngepos Kecamatan Srumbung jebol karena dihantam lahar dingin yang dikeluarkan dari Gunung Merapi yang terjadi akhir-akhir ini.

Kepala Bidang Pengairan Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Magelang, Sutoyo di Magelang, Senin, mengatakan, memang telah ada laporan bahwa dam Sungai Putih di Srumbung jebol setelah dihantam lahar dingin kedua kalinya.

Setelah terjadi erupsi di puncak Gunung Merapi sejak 26 Oktober 2010, di sejumlah aliran sungai yang berhulu di Merapi telah beberapa kali mengalami banjir lahar dingin, termasuk Sungai Putih hingga Senin ini telah terjadi tiga kali banjir lahar.

"Kami sudah menerima laporan kerusakan dam tersebut, namun petugas kami belum bisa mengecek sejauh mana kerusakan tersebut karena oleh petugas jaga di daerah Srumbung tidak diperkenankan naik karena kondisi Merapi masih mengkhawatirkan," katanya.

Ia mengatakan, yang mempunyai kewenangan untuk memperbaiki atau membangun dam di sungai tersebut adalah Balai Besar Wilayah Sungai Serayu-Opak.

"Saya sudah diminta data untuk melaporkan kerusakan dam tersebut oleh Balai Besar Wilayah Sungai Serayu-Opak, namun kami belum bisa melaporkan karena kawasan tersebut masih tertutup," katanya.

Menurut dia, jebolnya dam tersebut dipicu oleh penambangan pasir yang terjadi di aliran sungai tersebut. Seharusnya penambang tidak boleh mengambil pasir di bawah dam sehingga saat banjir lahar bendungan itu mudah jebol.

Seorang warga Desa Cabe Lor, Kecamatan Srumbung, Suratmo mengatakan jebolnya dam karena dihantam oleh lahar dingin yang membawa material berupa batu besar, pasir bercampur dengan lumpur akibat letusan Merapi.

Ia mengatakan, dam tersebut jebol pada Minggu (7/11) sekitar pukul 15.00 WIB, saat terjadi banjir lahar.
(H018/A030)

Monday, November 08, 2010

Data Korban Tsunami di Mentawai

Padang (ANTARA News) - Korban meninggal akibat gempa dan tsunami di Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumbar, hingga Senin bertambah menjadi 448 orang.

"Satu jenazah lagi yang sulit dikenali ditemukan warga Munte Baru-Baru Kecamatan Pagai Utara pada Minggu sore," kata Koordinator Posko Tanggap Darurat BPBD Mentawai, Paulinus, di Sikakap, Senin.

Menurut Paulinus, hingga kini warga yang masih belum ditemukan sebanyak 56 orang.

Korban luka-luka yang masih dirawat di rumah sakit darurat dan Puskesmas Sikakap tercatat 173 orang luka berat dan 325 orang luka ringan.

"Sebanyak 13 korban luka-luka dirujuk ke rumah Sakit M. DJamil Padang," katanya.

Selain itu, lanjut Paulinus, sebanyak 15.353 orang masih bertahan di tempat-tempat pengungsian.

Upaya pencarian korban hingga pekan ketiga pascagempa 7,2 SR yang disertai tsunami pada 25 Oktober masih akan tetap dilakukan. Berikut data korban akibat gempa dan tsunami berdasarkan data BPBD Mentawai.

Korban tewas: 448 orang.
Korban hilang: 56 orang
Luka berat: 173 orang
Luka ringan: 325 orang
Pengungsi: 15.353 orang

Perumahan:
Rusak berat: 517 unit
Rusak ringan: 204 unit
Rumah dinas: 4 unit (rusak berat)

Sekolah:
Rusak berat: 6 unit

Fasilitas Umum:
Resort: 2 Unit (Resort Macaroni dan Katiet)
Rumah ibadah: 7 unit (rusak berat)
Jembatan: 7 unit (rusak berat)
Jalan: 8 kilometer (rusak berat)

Kapal Pesiar:
Rusak berat: 1 unit (terbakar)
Rusak ringan: 1 unit
(ANT/A024)

Aliran Awan Panas ke Kali Gendol

Aliran Awan Panas ke Kali Gendol
Yogyakarta (ANTARA News) - Aliran awan panas yang masih terus diluncurkan Gunung Merapi berdasarkan pengamatan pada Senin pukul 00.00-00.06 WIB mengalir ke Kali Gendol dan Kali Woro.

Menurut laporan Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Surono, aktivitas Gunung Merapi pada Senin dini hari hingga pagi masih cukup tinggi meskipun sudah tidak disertai dengan adanya gempa vulkanik.

Gempa vulkanik pada Minggu (7/11) tercatat terjadi sebanyak 31 kali, namun pada Senin hingga pukul 00.06 WIB tidak terjadi satu pun gempa vulkanik.

Meskipun demikian, sejumlah pos pengamatan Gunung Merapi masih terus mendengar suara gemuruh dan juga letusan seperti yang dilaporkan petugas pengamat di Klaten, Jawa Tengah.

Pascaletusan keras dini hari tersebut, kemudian terlihat kolom asap setinggi tiga hingga empat kilometer berwarna abu-abu yang condong ke arah barat daya.

Di Pos Pengamatan Ketep terjadi hujan abu dengan arah angin ke barat serta barat laut.

Mengingat masih tingginya aktivitas seismik Gunung Merapi tersebut ditambah kondisi sejumlah sungai yang berhulu di Gunung Merapi seperti Kali Gendol yang sudah penuh dengan endapan awan panas, maka status gunung masih ditetapkan "awas" atau level 4.

Masyarakat tetap diminta berada di luar radius 20 kilometer (km) dari puncak agar tidak terkena awan panas.

PVMBG belum mengubah radius aman dan meminta masyarakat agar tidak mempercayai isu-isu yang beredar yang mengatakan bahwa awan panas dapat mencapai jarak luncur sejauh 60 km.

Selain awan panas, ancaman lain dari erupsi Gunung Merapi adalah lahar sehingga masyarakat diminta tidak beraktivitas di sekitar alur sungai yang berhulu di Gunung Merapi.
(ANT/A024)

Merapi Masih Simpan Energi Besar

Senin, 8 November 2010 02:17 WIB
Yogyakarta (ANTARA News) - Gunung Merapi masih menyimpan energi yang besar, sehingga Badan Geologi belum dapat memprediksi kapan letusannya akan mereda.

"Sejak 3 November 2010 sampai sekarang Merapi telah empat hari meletus tanpa henti, itu berarti energi yang tersimpan masih besar," kata Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) R Sukhyar, di Yogyakarta, Minggu.

Menurut dia, energi yang dikeluarkan Gunung Merapi sejak letusan 3 November hingga 7 November 2010 masih terus berlangsung hingga sekarang, bahkan lebih besar dibanding letusan pertama yang terjadi pada 26 Oktober 2010.

Ia mengatakan energi letusan Gunung Merapi pada 3-7 November 2010 tiga kali lebih besar dengan energi letusan pada 26 Oktober 2010.

"Kami tidak dapat memprediksi kapan energi tersebut habis, sehingga Gunung Merapi tidak lagi meletus. Sekarang, kita ikuti dulu saja apa yang dimaui gunung ini," katanya.

Meskipun energi yang dimiliki Merapi masih besar, namun Sukhyar mengatakan untuk sementara radius aman masih ditetapkan pada jarak di luar 20 kilometer dari puncak gunung.

Penetapan radius aman tersebut, menurut dia didasarkan pada data-data sejarah letusan Gunung Merapi, khususnya jarak luncur awan panasnya.

"Berdasarkan fakta sejarah, jarak luncur awan panas Merapi tidak pernah lebih dari 15 kilometer, yaitu hanya berkisar 12-13 kilometer, sehingga radius 20 kilometer itu belum akan diubah," katanya.

Kawah berdiameter 400 meter yang telah terbentuk di puncak gunung ini lebih terbuka ke selatan atau mengarah ke hulu Kali Gendol, sehingga awan panas yang diluncurkan Merapi akan mengarah ke kali tersebut.

Namun demikian, Sukhyar mengatakan sebanyak 12 sungai yang berhulu di Gunung Merapi harus tetap diwaspadai, khususnya untuk ancaman awan panas dan lahar dingin.

Sementara itu, intensitas gempa vulkanik Gunung Merapi pada Minggu pukul 00.00 sampai pukul 00.06 WIB kembali meningkat dibanding dua hari sebelumnya.

Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Surono mengatakan berdasarkan laporan hasil pemantauan aktivitas Merapi hingga pukul 06.00 WIB telah terjadi 31 kali gempa vulkanik.

"Intensitas gempa vulkanik tersebut meningkat cukup tinggi dibanding Jumat dan Sabtu. Pada Jumat (5/11) sama sekali tidak ada gempa vulkanik," katanya, di Yogyakarta.

Selain meningkatnya intensitas gempa vulkanik, Gunung Merapi juga masih terus meluncurkan awan panas, dan awan panas beruntun terjadi pada pukul 03.02 WIB yang meluncur ke Kali Gendol dan Kali Woro. "Rentetan awan panas tersebut diawali dengan gempa vulkanik," katanya.

Sementara itu, suara gemuruh Merapi juga masih terdengar beruntun dari Kecamatan Kemalang dan Prambanan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, pada pukul 03.00 hingga pukul 05.30 WIB.

Kolom asap letusan setinggi enam kilometer berwarna kelabu condong ke barat terlihat dari Kecamatan Kemalang, Kabupaten Klaten, dan kilat terlihat dari Yogyakarta.

PVMGB masih mengimbau kepada masyarakat untuk tetap mewaspadai ancaman banjir lahar karena intensitas hujan masih tinggi, apalagi material erupsi terus bertambah.

Masyarakat juga tetap diminta untuk tidak beraktivitas di sepanjang alur sungai yang berhulu di Merapi, yang meliputi Kali Woro, Kali Gendol, Kali Kuning, Kali Boyong, Kali Bedog, Kali Krasak, Kali Bebeng, Kali Sat, Kali Lamat, Kali Senowo, Kali Trising, dan Kali Apu.

Status aktivitas vulkanik gunung berapi ini masih tetap "awas", dan wilayah aman bagi pengungsi serta masyarakat adalah tetap di luar radius 20 kilometer.



Terdengar sampai Gunung Kidul

Suara gemuruh Gunung Merapi terdengar sampai Kecamatan Semin, wilayah paling utara Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, yang berbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, Minggu pagi.

"Suara gemuruh Gunung Merapi menjelang Shalat Shubuh membuat warga khawatir dan kemudian mereka memukul kentongan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadi gempa karena gemuruh itu terdengar cukup lama," kata Kepala Desa Bendung, Kecamatan Semin, Sukardi di Semin.

Ia mengatakan sempat mencari sumber suara gemuruh tersebut dengan melihat ke arah Gunung Merapi dari depan kantor Balai Desa Bendung bersama sejumlah warga.

"Kami penasaran dengan suara gemuruh pagi tadi dan berusaha melihat Gunung Merapi dari depan kantor Balai Desa Bendung dan yang terlihat adalah sinar merah menyala seperti bara pada arah barat daya yang merupakan letak Gunung Merapi dari tempat kami," katanya.

Meskipun jaraknya jauh dari Gunung Merapi, Sukardi mengatakan tetap mengimbau warganya meningkatkan kewaspadaan.

Suara gemuruh tersebut sempat membuat anak-anak dan warga ketakutan, karena suaranya terdengar begitu jelas, terkadang volumenya sangat jelas dan kadang mereda. Gemuruh itu terdengar dalam waktu hampir dua jam.

"Anak-anak kami yang sudah terbangun menjadi takut dan tidak mau ditinggal, karena mendengar suara gemuruh itu," kata salah seorang warga Dusun Pencil, Bendung, Semin, Rukmini yang rumahnya berada di bukit.

Suara gemuruh pada Minggu pagi tersebut membuat banyak warga menjadi penasaran dan berkumpul di tempat-tempat yang lebih tinggi, dan tidak terhalang pepohonan agar dapat melihat ke arah Merapi.

Sementara itu, aktivitas seismik Merapi hingga Minggu pukul 12.00 WIB masih tinggi, ditandai dengan gempa tremor, guguran, awan panas beruntun, dan 31 kali gempa vulkanik.

Berdasarkan data dari PVMBG Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Minggu, aktivitas seismik gunung ini sampai sekarang masih tinggi, sehingga masyarakat diminta waspada dengan mematuhi jarak aman di luar radius 20 kilometer.

Laporan pengamatan Gunung Merapi dari Pos Ketep menyebutkan pada Minggu pukul 09.00 WIB terjadi banjir lahar skala kecil di Kali Pabelan di wilayah Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, dan diikuti hujan abu dan pasir vulkanik dalam radius 10 kilometer dari puncak gunung ini.

Warga masyarakat di "ring road" barat Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), dan di Prambanan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah (Jateng), masih mendengar suara gemuruh serta suara yang menggelegar dari puncak gunung di perbatasan DIY dan Jateng itu.

Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta Subandriyo mengatakan pihaknya telah memasang dua alat seismometer yang ditempatkan di Ketep dan Museum Gunung Merapi untuk melengkapi alat di Pos Plawangan.

Kedua alat tersebut digunakan untuk menggantikan tiga alat pemantauan yang telah rusak terkena letusan Gunung Merapi. "Kemungkinan besar masih akan ada lokasi baru, tetapi masih dikaji lokasi yang aman sekaligus mampu memancarkan sinyal yang baik ke BPPTK," katanya.



Hanya isu

Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian Yogyakarta Subandrio menegaskan tidak benar akan terjadi awan panas sejauh 60 kilometer dari puncak Gunung Merapi, karena kabar itu hanya isu.

"Masyarakat diminta tetap tenang, jangan panik, karena dalam sejarah Merapi belum pernah terjadi luncuran awan panas sejauh itu," katanya, di Yogyakarta, Minggu, menanggapi berbagai isu mengenai Gunung Merapi yang meresahkan masyarakat yang di antaranya menyebutkan akan terjadi awan panas sejauh 60 kilometer.

Oleh karena itu, kata dia, masyarakat diminta tetap tenang, dan mengikuti imbauan institusi yang berwenang seperti Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi, maupun Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK).

"Masyarakat tidak perlu terpengaruh adanya isu tersebut, dan luncuran awan panas tidak mungkin melampaui jarak hingga ke zona aman yang telah ditentukan yaitu di luar 20 kilometer," katanya.

Subandrio mengatakan awan panas memang masih terjadi, dan antara pukul 11.00 hingga pukul 12.00 WIB, Minggu, terdengar suara gemuruh cukup keras dari Gunung Merapi. "Awan panas pada hari itu jarak luncurnya sejauh 1,5 kilometer hingga lima kilometer, dan dominan ke arah hulu Kali Gendol dan Woro," katanya.

Menurut dia, dalam beberapa hari terakhir arah luncuran awan panas ke hulu Kali Gendol, Boyong, dan Kali Krasak. "Tetapi pada Minggu, dominan ke Kali Gendol dan Woro," katanya.

Ia mengatakan Kali Gendol saat ini sudah dipenuhi endapan awan panas, karena awan panas terus-menerus terjadi sejak letusan pada 26 Oktober 2010.

"Kali Gendol sekarang sudah penuh dengan endapan awan panas, dan apabila masih terus bertambah dengan volume yang sama, maka jika terjadi awan panas yang menuju ke sungai itu jarak luncurnya bisa jauh," katanya.

Meskipun luncuran awan panas bisa jauh, kata Subandrio tidak akan lebih dari 20 kilometer. "Namun, yang harus diwaspadai, awan panas Merapi saat ini terjadi terus menerus, dan setiap saat luncurannya bisa berubah arah," katanya.

Sehingga, kata dia, jika ada warga masuk ke zona tidak aman, itu sangat berisiko. "Oleh karena itu, agar warga tidak sering menengok ternak sapinya yang masih berada di zona tidak aman, sebaiknya sapi itu dibawa turun atau dievakuasi, atau bagaimana caranya lebih baik dijual," katanya.



Isu meresahkan

Sementara itu, seorang pakar geologi dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta mengimbau masyarakat untuk tidak mempercayai isu terkait erupsi Gunung Merapi, karena dengan meneruskan isu melalui pesan layanan singkat kepada orang lain, berarti ikut menyebarluaskan isu yang belum tentu benar, tetapi justru meresahkan.

"Jangan percaya isu mengenai erupsi Merapi, karena isu itu belum tentu benar, dan ikuti saran serta imbauan pemerintah khususnya dari institusi resmi yang memiliki kewenangan terkait dengan perkembangan aktivitas gunung tersebut seperti Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi, serta Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta," kata pakar geologi dari Universitas Gadjah Mada Agus Hendratno, di Yogyakarta, Minggu.

Menurut dia, sudah ada institusi resmi dari pemerintah yaitu PVMBG dan BPPTK yang memiliki kewenangan penuh untuk urusan Gunung Merapi sekaligus menginformasikannya kepada pemerintah daerah dan masyarakat guna mengambil langkah-langkah yang tepat terkait dengan upaya penyelamatan.

"Institusi-institusi pemerintah itu yang semestinya diikuti dan dipatuhi, bukan isu-isu yang tidak jelas sumbernya yang hanya menambah keresahan dan kepanikan," katanya.

Sedangkan terkait dengan pengungsi Merapi, Agus Hendratno yang juga pemerhati dan mempelajari mitigasi bencana, berpendapat, pemerintah perlu memberikan bantuan dana sekadarnya kepada pengungsi khususnya kepala keluarganya untuk menunjang mobilitas mereka selama berada di tempat pengungsian.

Ia memberi gambaran selama ini setiap terjadi bencana dan kemudian pengungsi ditampung di suatu tempat, pemerintah dan para pihak penyumbang lebih banyak memberi bantuan berupa logistik terutama bahan pangan dan makanan siap dikonsumsi, serta obat-obatan maupun keperluan utama lainnya.

"Tetapi sering, salah satu di antara bantuan-bantuan tersebut jumlahnya berlebihan, karena tidak ada pengaturan dalam penyalurannya ke beberapa lokasi pengungsi, sehingga tidak jarang bantuan berupa nasi bungkus misalnya sampai basi karena menummpuk dan jumlahnya berlebihan, sehingga mubazir," katanya.

Oleh karena itu, dari pengalaman selama ini alokasi dana dari pemerintah untuk pengadaan logistik khususnya bahan pangan ketimbang jumlahnya berlebihan, maka lebih baik diberikan berupa uang, tetapi jangan terlalu besar atau secukupnya, untuk keperluan biaya mobilitas kepala keluarga pengungsi di antaranya membeli bahan bakar minyak (BBM) bagi kendaraannya, maupun membeli pulsa untuk telepon selulernya.

"Sebab, mereka selama di tempat pengungsian pasti melakukan komunikasi menggunakan telepon seluler dengan saudara maupun keluarganya di luar daerah, begitu pula mobilitasnya pasti tinggi, apalagi sebagai kepala keluarga," katanya.

Agus mengatakan siapa pun yang berada di tempat pengungsian untuk jangka waktu yang tidak jelas, karena bisa hanya beberapa hari, tetapi bisa juga lama, tentunya mengganggu konsentrasi pekerjaannya, terutama yang wiraswasta maupun pedagang serta petani dan peternak. "Mereka tidak bisa mencari nafkah untuk keluarganya, dan tentu di antara mereka hanya sebagian yang memiliki tabungan," katanya.



Mahasiswa pulang kampung

Ribuan mahasiswa asal luar Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan puluhan mahasiswa asing yang sedang menempuh studi di berbagai perguruan tinggi di Yogyakarta, memilih pulang kampung karena takut dengan letusan Merapi.

"Sekitar 71 dari 300 mahasiswa asal Malaysia pada Minggu ini sudah pulang ke negaranya dan sisanya masih dalam proses kepulangan," kata Kepala Humas dan Protokoler Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Suryo Baskoro, Minggu.

Sementara ribuan mahasiswa asal luar daerah juga pulang, menyusul kebijakan sejumlah perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS) di DIY yang meliburkan kegiatan kuliah hingga 13 November 2010.

Beberapa PTN dan PTS yang meliburkan kegiatan kampus, antara lain UGM, Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Universitas Islam Indonesia (UII), Uviversitas Pembangunan Nasional (UPN), Universitas Atma Jaya Yogyakarta, dan berbagai universitas lain.

"Saya memilih pulang kampung ke Bengkulu karena kampus meliburkan perkuliahan agar lebih tenang dan aman," kata Fina mahasiswa Fakultas Psikologi UII saat sedang menukarkan uang pembelian tiket di Bandara Adisutjipto Yogyakarta.

Nurlianingsih, mahasiswa semester pertama Sastra Inggris UNY mengaku dirinya memilih pulang karena orang tuanya terus menelepon dan khawatir.

"Kebetulan kuliah diliburkan dan saya memilih pulang agar keluarga dan orang tua tenang," katanya saat di temui di Stasiun Tugu Yogyakarta.

Berdasarkan pantauan, hampir semua sarana transportasi kereta api dan bus dipenuhi penumpang, bahkan lonjakan penumpang mulai Jumat (5/11) sore dengan tujuan berbagai kota lain naik hingga 100 persen.

Selain pulang kampun tidak sedikit pula mahasiswa yang memilih menjadi relawan bagi korban bencana letusan Gunung Merapi. "Yang penting orang tua tahu kondisi saya aman. Sekali-kali ingin berbuat dan berguna buat orang lain. Padahal selama ini saya tidak pernah masak," katanya Susanti mahasiswi yang menjadi relawan.

"Bencana Merapi juga membutuhkan relawan, makanya kami liburkan hinga 13 November 2010 agar mahasiswa bisa pulang atau menjadi relawan," kata Suryo.



Korban meninggal 88 orang

Korban meninggal dunia akibat letusan awan panas vulkanik Gunung Merapi hingga Minggu siang yang berada di instalasi Forensik Rumah Sakit Sardjito Yogyakarta bertambah empat orang sehingga menjadi 88 orang.

"Korban meninggal dunia di Rumah Sakit (RS) Sardjito Yogyakarta bertambah lagi empat orang dari sebelumnya 84 orang sehingga menjadi 88 orang, sebanyak 31 korban di antaranya berhasil diidentifikasi," kata Kepala Bagian Hukum dan Humas RS Sardjito Yogyakarta Trisno Heru Nugroho, di Yogyakarta, Minggu.

Jumlah meninggal di RS Sardjito Yogyakarta akibat letusan awan panas Gunung Merapi pada Jumat (5/11) dini hari terdiri atas 35 laki-laki dewasa, 35 perempuan dewasa, 11 anak-anak, dan tujuh jenazah tidak diketahui jenis kelaminnya. Sebanyak 31 jenazah sudah dapat teridentifikasi, namun baru sembilan jenazah yang diambil keluarganya.

Ia mengatakan sebagai rumah sakit rujukan pasien korban letusan Gunung Merapi maka RS Dr Sardjito hingga Minggu pagi menerima sebanyak 138 pasien luka bakar dan luka lainnya yang masuk ke instalasi rawat darurat, dan 61 di antaranya telah diizinkan pulang.

Korban letusan yang masih menjalani rawat inap di RS ini adalah sebanyak 30 pasien luka bakar dan 47 pasien nonluka bakar. Mereka kini tengah mendapat perawatan intensif dari kalangan tim medis rumah sakit ini, katanya.

Korban meninggal akibat letusan Gunung Merapi pada Jumat (5/11) dini hari rencananya akan dimakamkan secara massal di Tempat Pemakaman Umum Sayegan, Kecamatan Sayegan, Kabupaten Sleman, Minggu sekitar pukul 15.00 WIB.

"Serah terima jenasah akan dilakukan di RS Sardjito pada pukul 13.00 WIB yang akan diterima Asisten Sekretaris Daerah II Pemerintah Kabupaten Sleman Sunartono," katanya.

Menurut dia, jenazah yang akan dimakamkan secara massal tersebut adalah jenazah yang belum dapat teridentifikasi serta jenazah yang belum diambil oleh keluarganya. "Sesuai dengan ketentuan, dalam waktu 3x24 jam apabila ada jenazah yang belum bisa teridentifikasi, maka jenazah tersebut akan dimakamkan," katanya.

Ia mengatakan dari total 88 jenazah yang akan dimakamkan secara massal sebanyak 79 orang, karena jenazah yang lain telah diambil keluarganya masing-masing untuk dimakamkan.

Sementara itu, sebanyak 77 jenazah korban letusan Gunung Merapi pada Jumat (5/11), dimakamkan secara massal di pemakaman Dusun Beran, Desa Margodadi, Kecamatan Sayegan, Kabupaten Sleman, Minggu malam.

"Jenazah yang dimakamkan itu adalah yang sudah teridentifikasi maupun belum," kata Kepala Bidang Kedokteran Kepolisian Polda DIY AKBP Agustinus di Yogyakarta.

Menurut dia, jumlah jenazah yang berada di Instalasi Forensik RS Dr Sardjito hingga Minggu adalah 88 jenazah, namun baru dapat teridentifikasi 43 jenazah dan sisanya belum dapat teridentifikasi.

Sebanyak enam jenazah dari korban langsung letusan Gunung Merapi dan dua jenazah yang meninggal di bangsal RS Dr Sardjito telah diambil oleh keluarganya, dan hingga sekarang masih ada tujuh jenazah hasil evakuasi Minggu pagi yang masih berada di Instalasi Forensik RS Dr Sardjito.

Agustinus mengatakan, meskipun dimakamkan secara massal, namun tiap-tiap jenazah akan diberi nisan untuk membuat nama bagi jenazah yang sudah teridentifikasi dan nomor label bagi jenasah yang belum teridentifikasi.

"Selebihnya, data ante mortem dan post mortem dari setiap jenazah tersebut akan disimpan oleh DVI yang bisa digunakan kembali apabila ada keluarga yang ingin melakukan konfirmasi," lanjutnya.

Sementara itu, dr Lipur dari bagian forensik RS Dr Sardjito mengatakan bahwa tujuh jenazah yang baru diterima RS Dr Sardjito tersebut masih akan diidentifikasi. "Bagian rekonsiliasi yang menyatukan data ante mortem dan post mortem pun masih terus bekerja," katanya.

Hingga Minggu, Pos Ante Mortem di RS Dr Sardjito telah menerima sekitar 200 laporan orang hilang.



Tinjau kantor BNPB

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Minggu, meninjau kantor Badan Nasional Penanggulangan Bencana di Jalan Kenari Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Presiden didampingi Ibu Negara Ani Yudhoyono dan sejumlah menteri tiba di kantor Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sekitar pukul 15.00 WIB.

Di tempat tersebut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selain meninjau ruang kantor, juga mendapat penjelasan mengenai kondisi terkini Gunung Merapi. Penjelasan disampaikan Kepala BNPB Syamsul Maarif.

Usai mendapat penjelasan, Presiden Yudhoyono kemudian meninjau ruang media center. Ketika masuk ruangan, presiden langsung mengucapkan terima kasih kepada insan pers. "Terima kasih, terima kasih, telah menyampaikan informasi kepada rakyat mengenai kondisi Gunung Merapi," katanya.

Menurut dia, rakyat ingin mengetahui perkembangan Merapi dan penanganan yang dilakukan jajaran pemerintah. "Dengan adanya media center di kantor BNPB diharapkan akan memudahkan insan pers dalam menyampaikan informasi kepada rakyat," katanya.

Presiden Yudhoyono beserta rombongan selanjutnya meninjau kantor BPPTK Yogyakarta dan tempat pengungsian di Stadion Maguwoharjo, Kabupaten Sleman.

Sementara itu, Ibu Negara Ani Yudhoyono mengajak anak-anak di kawasan lereng Gunung Merapi yang kini berada di tempat pengungsian Stadion Maguwoharjo, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, agar lebih mencintai Gunung Merapi.

Ajakan tersebut disampaikan Ibu Negara Ani Yudhoyono saat mengunjungi penampungan pengungsi anak-anak di Stadion Maguwoharjo Depok, Yogyakarta, Minggu.

Dalam kesempatan tersebut Ibu Negara Ani Yudhoyono ditunjukkan sebuah lukisan Gunung Merapi berserta dengan "wedhus gembel" (awan panas) yang keluar dari puncak Merapi hasil karya Tejo yang merupakan satu dari ratusan anak yang mengungsi karena bencana letusan gunung ini. "Ini gunung Merapi dan ini adalah `wedhus gembel`," kata Tejo.

Mendapat penjelasan tersebut Ibu Negara kemudian menanyakan kepada Tejo apakah rumahnya rusak akibat letusan Gunung Merapi dan dijawab tidak.

"Apakah rumahmu rusak, sekarang semua harus mencintai Gunung Merapi karena Gunung Merapi merupakan ciptaan Tuhan," kata Ibu Negara.

Setelah itu, Ibu Negara meninjau dapur umum untuk para pengungsi letusan Gunung Merapi di area Stadion Maguwoharjo, Depok, Sleman.

Ibu Negara dan rombongan yang tiba sekitar pukul 10.30 WIB itu, langsung menuju ke lokasi penampungan pengungsi ibu dan balita di sisi barat Stadion Maguwoharjo, Sleman.

Dalam kesempatan tersebut Ibu Negara menyalami ibu-ibu dan anak-anak serta membagikan bingkisan berupa buku-buku untuk anak-anak. "Maksud Ibu Negara berkunjung ke sini untuk bertemu dengan warganya yang sedang menderita, namun kenapa warga yang ingin bertemu justru dihalangi pagar betis tentara yang sangat rapat," kata salah satu pengungsi Sajarwo dari Desa Wukirsari, Cangkringan, Sleman.**3***



Kendaraan segala medan

Palang Merah Indonesia (PMI) berencana menerjunkan dua unit "Hagglundsdi" (kendaraan segala medan) untuk menembus medan yang berbahaya, dan menembus dusun-dusun yang diterjang awan panas Merapi, dan belum terevakuasi.

"Kami hari ini sudah terjunkan dua unit `Hagglundsdi` untuk membantu evakusi korban letusan Gunung Merapi di dusun-dusun yang belum tersentuh," kata Ketua PMI Jusuf Kalla di Pusat Pengungsi Stadion Maguwoharjo, Sleman, DI Yogyakarta, Minggu.

Menurut dia, pihaknya akan bekerja sama dengan Kopassus membantu evakuasi korban letusan Gunung Merapi. "Dipilihnya Kopassus karena mereka memiliki keahlian khusus mengunakan kendaraan `hagglundsdi` guna memperlancar evakuasi," papar mantan wapres ini.

Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM Sukhyar mengingatkan kondisi Merapi masih cukup berbahaya, sehingga tim evakuasi perlu berhati-hati.

"Wilayah yang diterjang awan panas masih sangat berbahaya dan sebaiknya dihindari tim evakuasi, serta menunggu sampai kondisi aman," katanya.

Menurut dia, saat ini arah luncuran awan panas sulit diprediksi, karena aktivitas vulkanik Merapi fluktuatif dan menyebar ke segala arah. "Saat ini, daya eksplosifitas Merapi memang mengalami penurunan, namun intensitas aktivitas vulkaniknya cukup tinggi. Bahkan berdasar pantauan pukul 03.00 WIB, letusan terjadi dan tinggi kolom asap mencapi enam Kilometer," katanya.

Ia menuturkan, kondisi tersebut mengindikasikan pasokan magma terus berlangsung, dan saat ini di puncak sudah terbentuk kawah berdiameter 400 meter.

"Pasokan magma ke Merapi cukup besar, salah satunya diliat dari material vulkanik yang dikeluarkan sudah mencapai 100 juta meter kubik lebih," katanya.

Pemerintah telah membentuk tim untuk mendata dan mengidentifikasi sapi milik warga korban bencana erupsi Gunung Merapi di DIY dan Jateng, kata Menteri Pertanian Suswono. "Tim tersebut saat ini sedang menjalankan tugasnya," katanya di Istana Kepresidenan Gedung Agung Yogyakarta, Minggu.

Menurut dia, untuk mengganti sapi milik warga korban Merapi tersebut pemerintah menyediakan anggaran sebesar Rp100 miliar. Pemerintah masih membahas mengenai prosedur penggantian sapi tersebut.

"Kami akan melakukan kajian mengenai kepemilikan sapi tersebut, apakah sebagai mata pencaharian bagi pemiliknya atau tidak. Hal itu akan membedakan nilai penggantian, dan pemerintah akan mengganti dengan harga yang layak," katanya.

Sebelumnya, Menko Kesra Agung Laksono mengatakan, pemerintah akan berupaya mengganti ternak sapi milik warga yang menjadi korban bencana letusan Gunung Merapi.

Namun, menurut dia, prosedur, mekanisme, dan besaran nilai penggantian sapi mati masih dalam pembahasan dan akan ditentukan indeksnya.

"Jadi, pemerintah berupaya memberikan ganti rugi bagi pemilik sapi yang mati. Dengan demikian, tidak hanya sapi hidup yang diganti pemerintah," katanya.

Ia mengatakan, pemerintah menyiapkan pembelian sapi hidup di kawasan rawan bencana Merapi. Untuk pembelian sapi tersebut diperlukan prosedur dan akuntabilitas yang bisa dipertanggungjawabkan.

"Pembelian sapi tersebut merupakan salah satu upaya agar warga pemilik sapi tidak kembali ke daerah bahaya Merapi hanya untuk mengurusi ternaknya yang ditinggal mengungsi," katanya. (V001*E013*B015*ANT-160*/K004)008) 08-11-2010 01:50:08

Ringkasan - Jumlah Pengungsi Merapi di Jateng Membludak

Ringkasan - Jumlah Pengungsi Merapi di Jateng Membludak
Ribuan warga beristirahat di pendopo kabupaten setelah tempat pengungsiannya tertutup oleh abu vulkanik letusan Gunung Merapi meletus di Manisrenggo, Klaten, Jumat (5/11). (ANTARA/Akbar Nugroho Gumay)

Semarang (ANTARA News) - Jumlah pengungsi di Kabupaten Klaten, Boyolali, dan Magelang, Jawa Tengah, kian membeludak setelah pemerintah menetapkan perluasan kawasan rawan bencana letusan Merapi hingga radius 20 kilometer dan hingga Minggu malam jumlahnya sekitar 225.000 jiwa.

Warga rawan letusan Gunung Merapi terus mendatangi lokasi pengungsian, termasuk di daerah perkotaan, yang dinilai lebih memberi rasa aman dan jaminan hidup selama mereka meninggalkan kampung halaman.

Selain karena kesadaran warga sendiri, keberadaan tim evakuasi juga menjadikan semakin banyak warga di daerah bahaya mulai meninggalkan desa dan kampung halamannya untuk mengungsi.

Di Kabupaten Klaten, misalnya, ruang-ruang kantor pemerintah sejak tiga hari lalu disesaki para pengungsi. Pemerintah daerah sendiri sudah mulai kewalahan mengatasi jumlah pengungsi yang terus bertambah.

Bukan saja karena faktor dukungan tenaga dan dana yang terbatas, penyediaan tempat untuk para pengungsi juga menjadi masalah pelik setelah karena sebelumnya tidak pernah terpikirkan bahwa jumlah pengungsi akan sebanyak ini.

Menurut data Pemerintah Kabupaten Klaten, jumlah pengungsi pada Minggu sore tercatat 66.457 jiwa.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah Jawa Tengah mencatat jumlah pengungsi letusan Gunung Merapi di Kabupaten Boyolali, Klaten, dan Magelang hingga Minggu malam tercatat 224.250 jiwa.

Jumlah tersebut termasuk sekitar 2.772 penduduk Kota Magelang yang juga harus diungsikan, kata Kepala BPBD Jawa Tengah Jarot Nugroho.

Rinciannya, di Kabupaten Magelang sebanyak 102.353 jiwa, Kabupaten Klaten 58.482 jiwa, dan Boyolali 60.643 jiwa.

Menurut dia, jumlah pengungsi tersebut mengalami peningkatan signifikan dalam beberapa hari terakhir, menyusul aktivitas Merapi yang juga semakin meningkat.

Pada pendataan hari Sabtu (6/11), jumlah penduduk yang mengungsi sekitar 116 ribu jiwa. Hari Minggu ini tercatat sudah meningkat menjadi lebih dari 224 ribu jiwa," katanya.

"Eksodus warga terus berlangsung hingga membuat pemkab kesulitan mencari lokasi pengungsian tambahan yang aman bagi para pengungsi," kata Koordinator Posko Induk Pengungsian Klaten, Joko Rukminto, Minggu.

Pemkab Klaten sebelumnya hanya memprediksi sebanyak 5.727 pengungsi yang berlokasi di radius 10 kilometer dari puncak Merapi, namun seiring dengan perluasan daerah rawan bencana hingga radius 20 km, maka jumlah pengungsi menjadi 15 kali lipat dari perkiraan.

Menurut Joko, pemetaan lokasi pengungsian untuk ditempati warga tidak dapat dilakukan secara sembarangan.

"Pemkab harus melihat fasilitas pendukung pengungsian seperti tempat mandi cuci kakus, di samping mempertimbangkan luasnya lokasi," katanya.

Beberapa gedung yang berada di kawasan Kota Klaten seperti Pendopo Pemkab, Gelanggang Olahraga Gelarsena, dan Markas Komando Pendidikan dan Latihan Tempur telah dihuni ribuan pengungsi.

Hindari Bangunan Sekolah

Namun, Joko menambahkan, pihaknya sedapat mungkin menghindari gedung sekolah sebagai tempat pengungsian agar kegiatan belajar mengajar di Klaten harus terus berlangsung.

"Sementara ini, balai desa dan rumah penduduk menjadi alternatif tempat mengungsi warga," katanya.

Hingga Minggu siang, telah terdata persebaran 66.457 pengungsi di sebanyak 90 titik lokasi di 16 kecamatan di seluruh Klaten.

Tidak hanya berasal dari Kabupaten Klaten, para pengungsi juga berasal dari Boyolali dan Sleman, DI Yogyakarta.

Dengan demikian, lanjut dia, permasalahan lainnya yang dihadapi pemkab adalah pendistribusian logistik serta pengondisian dapur umum.

"Persebaran pengungsi di 16 kecamatan tersebut membuat pemkab sulit memberikan pemenuhan kebutuhan dasar seperti makanan," katanya.

Meskipun menurut Joko, persediaan logistik di Klaten tercukupi dengan datangnya bantuan dari berbagai pihak.

"Bahkan warga yang berada di luar zona aman 20 kilometer ikut mengungsi karena ketakutan terkena dampak langsung erupsi Merapi," katanya.

Dari Boyolali dilaporkan, relawan mengaku kesulitan mendata para pengungsi yang tersebar di beberapa titik tempat pengungsian karena warga masih sering berpindah-pindah tempat.

Akibatnya, penanganan logistik jumlahnya sering selisih, kata Agus Wiyono, anggota DPRD Boyolali yang juga sebagai relawan, Minggu.

Relawan yang mendata jumlah pengungsi di tempat pengungsian, sebelumnya sekitar 8.000 jiwa, tetapi karena warga banyak berpindah ke tempat lain, jumlahnya sangat sulit dipastikan.

"Pengungsi sering berpindah-pindah untuk mencari keluarganya. Padahal, mereka sudah didata di tempat pengungsian sebelumnya. Ini yang membuat kacau soal logistik," kata Agus.

(A030/M028/S026)

Sunday, November 07, 2010

Gempa 3,8 SR Dirasakan di Yogyakarta

Yogyakarta (ANTARA News) - Gempa bumi tektonik berkekuatan 3,8 skala richter mengguncang sebagian wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, Minggu pukul 23.08 WIB.

Menurut Kepala Seksi Data dan Informasi Stasiun Geofisika Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Yogyakarta Toni A Wijaya, pusat gempa di darat pada kedalaman 10 kilometer.

Titik pusat gempa berada pada posisi 12 kilometer barat daya Wonosari, Kabupaten Gunung Kidul, atau di posisi 8.03 Lintang Selatan - 110.51 Bujur Timur.

(M008/B015/S026)

Ki Kusumo: Letusan Merapi Masih Akan Terjadi hingga Akhir Tahun

Tribunnews.com - Minggu, 7 November 2010 16:14 WIB
Tribunnews.com/Iman Suryanto
MERAPI MELETUS - Ini adalah pemandangan detik-detik meletusnya Gunung Merapi yang mengeluarkan debu vulkanik serta awan panas (wedus gembel) yang terjadi unutk kesekian kalinya, Senin (1/11/2010). Akibat letusan tersebut membuat para pengungsi yang berada di tenda-tenda pengungsian di bawah Gunung Merapi panik dan mencoba menyelamatan diri.

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fajar Pratama

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menurut ahli pengobatan alternatif, Ki Kusumo mengatakan awan menyerupai bentuk kepala Petruk, tokoh punakawan dalam dunia pewayangan yang muncul di sela-sela letusan Gunung Merapi, beberapa waktu lalu, merupakan sebuah pertanda buruk.

Namun tidak hanya itu, Ki Kusumo mengatakan adanya sebuah isyarat yang tak bisa dianggap remeh.

“Awan berbentuk Petruk itu pertanda riil. Kita diingatkan, karena gejolak di negeri ini sudah pada kondisi yang memprihatinkan. Dibutuhkan kebersamaan. Jangan hanya menyalahkan satu elemen masyarakat atau para pemimpin saja,” tutur Ki Kusumo, di malam penggalangan dana di bilangan Kemang, Sabtu (6/11/2010).

Menurutnya, keberadaan Gunung Merapi sampai saat ini masih memiliki aura mistis yang kuat. Mempunyai energi metafisika yang luar biasa. Hal itu di dukung masyarakat sekitar yang kental dengan hal-hal berbau supranatural.

“Setidaknya, kita bisa menebak apa yang akan terjadi. Misalnya, terkait dengan bencana beruntun yang terus mengguncang bumi pertiwi ini," kata Ki Kusumo.

Dalam mata batinnya, Ki Kusumo melihat bahwa letusan Merapi masih akan terus terjadi hingga menjelang pergantian tahun. Bencana lain yang tak kalah dahsyat juga akan mewarnai negeri ini.

Bencana beruntun atau letusan gunung yang dianggap sebagai kunci dari gunung berapi di Indonesia ini adalah kado akhir tahun.

“Bencana ini bisa dijadikan alat introspeksi, sehingga di tahun depan bangsa Indonesia akan lebih cermat dalam menghargai alam. Kita mulai dari diri kita dan dari lingkungan dimana kita tinggal, untuk lebih menyayangi lingkungan” pungkas Ki Kusumo.


Editor: anwarsadat
Lidah Lava Semeru
Pemandangan gunung Semeru Lumajang pasca terjadinya semburan awan panas, Minggu (7/11). Kawah Jongring Saloko gunung Semeru mengalami lelehan pembentukan lidah api atau lava sejauh 5 km, menuju arah Besuk Bang Kecamtan Pronojiwo, menyebabkan petugas pos pemantauan mengimbau masyarakat Kecamtan Pronojiwo untuk menigkatkan kewaspadaan. (FOTO ANTARA/Cucuk Donartono)Disiarkan: Minggu, 7 November 2010 22:32 WIB

Believe it or Not Allowed! This Fact!

Paranormal : Letusan Merapi Terdahsyat 4-5 November

Laporan wartawan Tribunnews.com, Fenny Yadi

TRIBUNNEWS.COM, PANGKALPINANG -
Letusan merapi diprediksi akan mengalami klimaksnya antara tanggal 4-5 November 2010, tepatnya tanggal Kamis (4/11/2010) malam. Hal ini disampaikan seorang ahli pengobatan komplementer terkenal asal Bangka, Bruder Yanuar Husada, Selasa (2/11/2010).

Biarawan yang enggan disebut paranormal ini mengungkapkan, feeling-nya merasa semburan terpanjang akan mencapai 20 kilometer.

"Semburan letusan mengarah ke empat penjuru, yakni ke Kali Lamat dan Senowo serta dua jalur lainnya mengarah ke sekitar dua kali tersebut. Daya jangkau semburan masing-masing 11 km, 13 km, 12 km dan 20 km untuk yang mengarah ke Kali Lamat dan perasaan saya di sana ada perumahan penduduk," tuturnya.

Biarawan kelahiran Belanda yang berkarya di Indonesia, khususnya Pulau Bangka, sejak tahun 1965 ini ingin mengingatkan kepada pembaca, saudara atau siapa saja yang terpanggil atas keprihatinan Gunung Merapi di perbatasan DIY - Jawa Tengah untuk lebih waspada.

"Kalau ribuan orang harus meninggal karena kejadian itu, saya merasa bersalah," ungkapnya.

Ia mengimbuhkan, setelah letusan dahsyat yang mencapai 20 kilometer itu untuk enam tahun ke depan gejolak Gunung Merapi akan mereda. "Boleh percaya, boleh tidak," tandasnya.

Editor: prawiramaulana


Korban Tewas Merapi Bertambah Jadi 135 Orang

Tribunnews.com - Minggu, 7 November 2010 16:57 WIB

TRIBUN JOGJA/ADROZEN AHMAD
Salah seorang korban hendak dibungkus dengan kantung mayat saat evakuasi korban merapi di Dusun Bronggang, Desa Argomulyo, Kecamatan Cangkringan, Jumat (05/11).


Laporan Wartawan Tribunnews.com, Iwan Taunuzi

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA
- Terhitung hingga pukul 12.00 WIB jumlah korban meninggal akibat letusan Gunung Merapi mencapai 135 orang.

Jumlah tersebut sesuai dengan data yang tertulis di Kantor Pusat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Minggu (7/11/2010).

Korban meninggal terbagi dalam beberapa wilayah yakni 123 orang di Sleman, dua di Klaten. Selain itu, korban meninggal di Boyolali tiga orang, dan tujuh tujuh orang meninggal di Magelang.

Sementara untuk korban yang mendapatkan perawatan di sejumlah rumah sakit berjumlah 441 pasien. Dari Sleman berjumlah 147 pasien, Klaten berjumlah 64 pasien, Boyolali 66 pasien, dan warga dari Magelang sebanyak 129 pasien.

Sebelumnya, perkembangan terkini dari BNPB terhitung pada tanggal 7 November 2010, pukul 07.00 pagi tadi mencatat jumlah korban meninggal sebanyak 116 jiwa yang tersebar di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), dan sekitarnya.


Penulis: iwan
Editor: anwarsadat

Korban Meninggal Letusan Merapi Menjadi 88 Orang

Yogyakarta (ANTARA) - Korban meninggal dunia akibat letusan awan panas vulkanik Gunung Merapi hingga Minggu siang yang berada di instalasi Forensik Rumah Sakit Sardjito Yogyakarta bertambah empat orang sehingga menjadi 88 orang.

"Korban meninggal dunia di Rumah Sakit (RS) Sardjito Yogyakarta bertambah lagi empat orang dari sebelumnya 84 orang sehingga menjadi 88 orang, sebanyak 31 korban di antaranya berhasil diidentifikasi," kata Kepala Bagian Hukum dan Humas RS Sardjito Yogyakarta Trisno Heru Nugroho, di Yogyakarta, Minggu.

Jumlah meninggal di RS Sardjito Yogyakarta akibat letusan awan panas Gunung Merapi pada Jumat (5/11) dini hari terdiri atas 35 laki-laki dewasa, 35 perempuan dewasa, 11 anak-anak, dan tujuh jenazah tidak diketahui jenis kelaminnya. Sebanyak 31 jenazah sudah dapat teridentifikasi, namun baru sembilan jenazah yang diambil keluarganya.

Ia mengatakan sebagai rumah sakit rujukan pasien korban letusan Gunung Merapi maka RS Dr Sardjito hingga Minggu pagi menerima sebanyak 138 pasien luka bakar dan luka lainnya yang masuk ke instalasi rawat darurat, dan 61 di antaranya telah diizinkan pulang.

Korban letusan yang masih menjalani rawat inap di RS ini adalah sebanyak 30 pasien luka bakar dan 47 pasien nonluka bakar. Mereka kini tengah mendapat perawatan intensif dari kalangan tim medis rumah sakit ini, katanya.

Korban meninggal akibat letusan Gunung Merapi pada Jumat (5/11) dini hari rencananya akan dimakamkan secara massal di Tempat Pemakaman Umum Sayegan, Kecamatan Sayegan, Kabupaten Sleman, Minggu sekitar pukul 15.00 WIB.

"Serah terima jenasah akan dilakukan di RS Sardjito pada pukul 13.00 WIB yang akan diterima Asisten Sekretaris Daerah II Pemerintah Kabupaten Sleman Sunartono," katanya.

Menurut dia, jenazah yang akan dimakamkan secara massal tersebut adalah jenazah yang belum dapat teridentifikasi serta jenazah yang belum diambil oleh keluarganya.

"Sesuai dengan ketentuan, dalam waktu 3x24 jam apabila ada jenazah yang belum bisa teridentifikasi, maka jenazah tersebut akan dimakamkan," katanya.

Ia mengatakan dari total 88 jenazah yang akan dimakamkan secara massal sebanyak 79 orang, karena jenazah yang lain telah diambil keluarganya masing-masing untuk dimakamkan.

Intensitas Gempa Vulkanik Merapi Meningkat

Intensitas Gempa Vulkanik Merapi Meningkat
Yogyakarta (ANTARA News) - Intensitas gempa vulkanik Gunung Merapi pada Minggu pukul 00.00-00.06 WIB kembali meningkat dibanding dua hari sebelumnya.

Menurut Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Surono, berdasarkan laporan hasil pemantauan aktivitas Gunung Merapi hingga pukul 06.00 WIB telah terjadi 31 kali gempa vulkanik.

"Intensitas gempa vulkanik tersebut meningkat cukup tinggi dibanding Jumat dan Sabtu. Pada Jumat (5/11) sama sekali tidak ada gempa vulkanik," kata Surono di Yogyakarta, Minggu.

Selain meningkatnya intensitas gempa vulkanik, Gunung Merapi juga masih terus meluncurkan awan panas dan awan panas beruntun terjadi pada pukul 03.02 WIB yang meluncur ke Kali Gendol dan Kali Woro.

"Rentetan awan panas tersebut diawali dengan terjadinya gempa vulkanik," katanya.

Sementara itu, suara gemuruh Gunung Merapi juga masih terdengar secara beruntun dari Kecamatan Kemalang dan Kecamatan Prambanan, Klaten Jawa Tengah, pada pukul 03.00-05.30 WIB.

Kolom asap letusan setinggi enam kilometer (km) berwarna kelabu condong ke arah barat yang terlihat dari Kecamatan Kemalang, Klaten dan kilat terlihat dari Yogyakarta.

PVMGB juga masih mengimbau kepada masyarakat untuk tetap mewaspadai ancaman banjir lahar karena intensitas hujan masih tetap tinggi, apalagi material erupsi juga terus bertambah.

Masyarakat juga tetap diminta untuk tidak beraktivitas di sepanjang alur sungai yang berhulu di Gunung Merapi Merapi meliputi, Kali Woro, Kali Gendol, Kali Kuning, Kali Boyong, Kali Bedog, Kali Krasak, Kali Bebeng, Kali Sat, Kali Lamat, Kali Senowo, Kali Trising, dan Kali Apu.

Status Gunung Merapi masih tetap "awas" dan wilayah aman bagi pengungsi serta masyarakat adalah tetap di luar radius 20 kilometer (km).
(T.E013/P003)