Pages

Friday, April 23, 2010

Perangkap rayap Coptotermes curvignathus

Rayap menjadi hama utama yang menyerang tanaman kelapa sawit belum menghasilkan (TBM) dan tanaman menghasilkan (TM). Gejala serangan akibat hama rayap hampir mirip seperti serangan penyakit Ganoderma, daun-daun tanaman yang terserang menguning diikuti dengan nekrosis dan akhirnya mengering secara keseluruhan dan mati dengan tanda serangan berupa adanya alur-alur seperti terowongan dari tanah yang berada pada batang tanaman, pelepah maupun tandan buah dari bagian bawah menuju ke atas. Solusi pengendalian yang diharapkan dapat mengurangi jumlah populasi rayap adalah dengan metode pemerangkapan. Perangkap dibuat dengan bahan pipa PVC diameter 4 inchi dan panjang 40 cm. Pengujian dibuat dengan beberapa perlakuan diantaranya pemberian beberapa bahan organik sebagai food atractan bagi rayap meliputi perlakuan kertas koran, serbuk gergaji, bambu dan fiber (limbah pabrik). Hasil penelitian menunjukkan bahwa media kertas koran merupakan bahan organik yang paling disukai oleh rayap dengan persentase perangkap dimasuki rayap paling tinggi yakni mencapai 100% pada 3 minggu setelah pemasangan.(iopri)

Mutu CPO Indonesia

Sampel CPO dari 178 pabrik kelapa sawit (PKS) dari seluruh Indonesia telah dievaluasi dalam hal: asam lemak bebas, kadar air dan kotoran, kandungan karoten, DOBI dan bilangan iod. Sampel berasal dari propinsi Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Bengkulu, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Banten, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Sulawesi Barat dan Sulawesi Tenggara.
Kadar asam lemak bebas (ALB) pada sampel CPO Indonesia 3,15%, masih jauh di bawah batas maksimum menurut Standar Nasional Indonesia/SNI (5%). Kisaran kandungan ALB di setiap propinsi sudah di bawah 5% sesuai SNI kecuali untuk propinsi Lampung (4-97-5,34%), Kalimantan Barat (3,50-10,66%) dan Kalimantan Tengah (1,71-8,21%).
Kadar air dan kotoran pada sampel sesuai dengan persyaratan SNI (<0,5%) bahkan untuk semua sampel. Rata-rata kadar air dan kotoran adalah 0,03% pada kisaran 0,01-0,19%.
Kandungan karoten rata-rata sampel adalah 554 ppm, masih dalam kisaran yang sesuai dengan Codex Alimentarius (500 - 2000 ppm). Sekitar 16 PKS tidak menghasilkan CPO dengan kandungan di atas 500 ppm. CPO dari Sumatera Barat dan Kalimantan Barat rata-rata mengandung karoten di bawah 500 ppm, pada kisaran masing-masing 454-528 ppm dan 396-577 ppm.
Deterioration of Bleacheability Index (DOBI) sebagai rasio karoten terhadap produk oksidasi sekunder (dibaca di spektrofotometer UV-VIS), adalah parameter mutu penting dalam penggunaan CPO lebih lanjut dalam industri refinasi dan fraksionasi. Indonesia belum mempunyai standar untuk parameter DOBI, namun Malaysia merekomendasi PKSnya menghasilkan CPO dengan DOBI minimal 2,3. Sampel CPO Indonesia masih memiliki DOBI lebih rendah dari 2,3 (rata-rata 2,24, kisaran 0,9-3,0). Rata-rata DOBI lebih dari 2,3 ditemukan di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Riau, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Tenggara.
Bilangan iodin, sama seperti DOBI juga digunakan untuk kepentingan pabrik refinasi dan fraksionasi karena berkaitan dengan rendemen minyak goreng yang diperoleh. Rata-rata bilangan iodin pada sampel adalah 51,10 (Kisaran 27,1-71,1), relatif sesuai dengan standar minimal pabrikasi minyak goreng yaitu 51. Bila Bilangan Iodin seharusnya lebih dari 51, sekitar 19% PKS tidak memenuhi persyaratan ini. (iopri)

Cangkang Sawit Kini Jadi komoditi Penting

PEKANBARU: Meski sebelumnya dianggap sebagai bahan tak berguna, akhir-akhir ini cangkang sawit yang merupakan limbah hasil pengolahan CPO, telah menjadin komoditi penting. Banyak pengusaha memburu komoditi ini untuk keperluan industrinya.

Kepala Bidang Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perekebunan Dinas Perkbunan Riau, Ferry HC kepada wartawan di ruang kerjanya membenarkan hal itu. "Sekarang banyak orang memburu cangkang untuk digunakan berbagai keperluan," ujarnya.

Hanya saja, menurut dia, bagi pihak Pabrik Kelapa Sawit (PKS) yang menghasilkan cangkang, justru komoditi itu diperlukannya juga sebagai bahan bakar. "Sebagian besar cangkang itu mereka pakai sendiri untuk bahan bakar di PKS," jelasnya.

Makanya tidak banyak lagi produksi cangkang yang bisa dipasarkannya. Padahal pihak yang akan menampung cangkang tersebut cukup banyak, karena komoditi itu mulai dibutuhkan, karena bisa dimanfaatkan oleh berbagai keperluan seperti dijadikan bahan bakar.

Cangkang sendiri,menurut Ferry merupakan hasil pengolahan buah kelapa sawit di PKS. Hasil pengolahan sawit itu akan menghasilkan turunan seperti CPO sebanyak 22 persen, Karnel 6 persen, Cangkang 8 persen, Fiber 15 persen, Sludge 48 persen, dan air 18 persen.

Menurut data di Dinas Perkebunan Riau diketahui saat ini produksi sawit Riau telah mencapai 35 juta ton setahun. Dari produksi sawit ini, telah dihasilan CPO sebanyak 7 juta ton setahun. Sedangkan produksi cangkang sebanyak 2,8 juta ton.(ak)