Pages

Saturday, February 27, 2010

Aplikasi Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit pada Perkebunan Kelapa Sawit

*
Limbah cair pabrik kelapa sawit dapat digunakan sebagai pupuk. Aplikasi limbah cair memiliki keuntungan antara lain dapat mengurangi biaya pengolahan limbah cair dan sekaligus berfungsi sebagai sumber hara bagi tanaman kelapa sawit.







*
Kualifikasi limbah cair yang digunakan mempunyai kandungan BOD 3.500–5.000 mg/l yang berasal dari kolam anaerobik primer.
*
Metode aplikasi limbah cair yang umum digunakan adalah sistem flatbed, yaitu dengan mengalirkan limbah melalui pipa ke bak-bak distribusi dan selanjutnya ke parit primer dan sekunder (flatbed). Ukuran flatbed adalah 2,5 m x 1,5 m x 0,25 m. Dosis pengaliran limbah cair adalah 12,6 mm ekuivalen curah hujan (ECH)/ha/bulan atau 126 m3/ha/bulan.
*
Kandungan hara pada 1m3 limbah cair setara dengan 1,5 kg urea, 0,3 kg SP-36, 3,0 kg MOP, dan 1,2 kg kieserit. Pabrik kelapa sawit dengan kapasitas 30 ton/jam akan menghasilkan sekitar 480 m3 limbah cair per hari, sehingga areal yang dapat diaplikasi sekitar 100-120 ha.
*
Pembangunan instalasi aplikasi limbah cair membutuhkan biaya yang relatif mahal. Namun investasi ini diikuti dengan peningkatan produksi TBS dan penghematan biaya pupuk sehingga penerimaan juga meningkat. Aplikasi limbah cair 12,6 mm ECH/ha/bulan dapat menghemat biaya pemupukan hingga 46%/ha. Di samping itu, aplikasi limbah cair juga akan mengurangi biaya pengolahan limbah.
*
Limbah cair pabrik kelapa sawit telah banyak digunakan di perkebunan kelapa sawit baik perkebunan negara maupun perkebunan swasta. Penggunaan limbah cair mampu meningkatkan produksi TBS 16-60%. Limbah cair tidak menimbulkan pengaruh yang buruk terhadap kualitas air tanah di sekitar areal aplikasinya.

Biofungisida Marfu Pengendali Jamur Ganoderma boninense

*
Penyebab busuk pangkal batang (BPB) pada tanaman kelapa sawit adalah Ganoderma boninense yang merupakan jamur tanah hutan hujan tropis. Jamur G. boninense bersifat saprofit (dapat hidup pada sisa tanaman) dan akan berubah menjadi patogenik apabila bertemu dengan akar tanaman kelapa sawit yang tumbuh di dekatnya. Serangan BPB dapat terjadi sejak bibit sampai tanaman tua, tetapi gejala penyakit biasanya baru terlihat setelah bibit ditanam di lapangan.

*
Busuk pangkal batang pada tanaman kelapa sawit dapat dikendalikan dengan menggunakan biofungisida Marfu-P. Hasil uji aplikasi Marfu-P menunjukkan bahwa satu bulan setelah perlakuan masih dijumpai adanya Ganoderma dan Trichoderma pada potongan akar yang sama. Ganoderma pada akar kelapa sawit dan pada potongan akar karet sudah melapuk setelah 3 bulan perlakuan Trichoderma.
*
Bahan aktif yang digunakan untuk biofungisida Marfu-P adalah sporakonidia dan klamidospora jamur Trichoderma koningii (isolat MR 14). Harga biofungisida Marfu-P hanya sebesar Rp4.000/kg.
*
Biofungisida Marfu-P banyak digunakan oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit milik negara dan swasta. Manfaat yang diperoleh dengan adanya aplikasi biofungisida Marfu-P adalah pengendalian BPB bersifat ramah lingkungan, sehingga bahaya pencemaran lingkungan oleh insektisida kimiawi dapat dihindari.

Tanaman kelapa sawit yang terserang busuk pangkal (Ganoderma
boninense) (a), dan tanaman kelapa sawit yang teraplikasi dengan
biofungisida Marfu-P selama 6 bulan (b).

Feromon untuk Pengendalian Kumbang Tanduk

*
Kumbang tanduk (Oryctes rhinoceros) umumnya menyerang tanaman kelapa sawit muda dan dapat menurunkan produksi tandan buah segar (TBS) pada tahun pertama menghasilkan hingga 69%. Di samping itu, kumbang tanduk juga mematikan tanaman muda sampai 25%.

*
Penggunaan feromon sebagai insektisida alami sangat efektif, ramah lingkungan, dan lebih murah dibandingkan teknik pengendalian konvensional. Feromon merupakan bahan yang mengantarkan serangga pada pasangan seksualnya, mangsanya, tanaman inang, dan tempat berkembang biaknya. Komponen utama feromon sintetis kumbang tanduk adalah etil-4 metil oktanoat. Feromon tersebut dikemas dalam kantong plastik.
*
Biaya pemanfaatan feromon hanya 20% dari biaya aplikasi insektisida dan pengutipan kumbang secara manual. Hal itu disebabkan harga feromon yang murah dan cara aplikasi di lapangan tidak banyak membutuhkan tenaga kerja. Harga satu sachet feromon sebesar Rp75.000.

Pengendalian Hayati Ulat Api Menggunakan Entomopatogenik


Pemanfaatan mikroorganisme entomopatogenik dapat mengurangi atau bahkan menggantikan insektisida kimia sintetis (semua jenis insektisida golongan piretroid sintetis, misalnya Decis 2,5 DC dan Matador 25 EC) dalam pengendalian ulat api di perkebunan kelapa sawit. Penggunaan insektisida kimia sintetis selama ini justru seringkali menyebabkan dampak negatif bagi lingkungan, sehingga permasalahan hama menjadi lebih rumit, seperti munculnya resistensi dan resurgensi hama.
Pengendalian ulat api menggunakan bahan alami terbukti lebih efektif dan efisien dibandingkan dengan menggunakan insektisida kimia sintetis, dengan biaya pengendalian hanya 7% dari biaya pengendalian secara kimiawi.

Friday, February 26, 2010

Kelapa sawit: ragam wujud sang primadona perkebunan

Kelapa sawit. Komoditas ini memiliki banyak produk turunan. Hal ini tidak terlepas dari predikatnya sebagai produk yang menjadi komoditas ekspor andalan. Sawit memliki lebih dari 30 produk turunan mulai dari produk pangan, perawatan tubuh, hingga bahan kimia. Selain itu, hampir seluruh komponen penyusun sawit memiliki kegunaan. Mulai dari buah, tempurung, daun, hingga tandannya. Berikut ini adalah produk turunan dari kelapa sawit.

Buah kelapa sawit

Buah kelapa sawit terdiri dari daging dan biji. Daging kelapa sawit pada proses pengolahannya akan diolah menjadi minyak kelapa mentah atau CPO (Crude Palm Oil), sedangkan bijinya akan diolah menjadi minyak inti sawit atau PKO (Palm Kernel Oil).

CPO saat diuraikan akan menghasilkan minyak sawit padat (stearin) dan minyak sawit cair (olein). Baik olein maupun stearin memiliki banyak produk turunan dan menjadi bahan dasar sejumlah industri seperti makanan, bahan baku industri kosmetik, bahan baku industri farmasi, hingga bahan baku industri baja, kawat, dan radio.

Dalam industri makanan, CPO menghasilkan minyak goreng, mentega, margarine, cokelat, es krim, makanan ternak, mie instan, gula gula, hingga biskuit. Untuk industri kosmetik dan obat – obatan, CPO menjadi bahan dasar dari berbagai macam krim, shampo, pelembab tubuh, minyak rambut, vitamin, hingga beta karoten.

Untuk industri pengolahan, CPO membantu berbagai pengolahan logam dan perak.. Dalam industri kulit, CPO digunakan untuk membuat kulit menjadi lebih halus, lentur dan tahan terhadap tekanan tinggi atau temperatur tinggi.

Bagi industri kimia, CPO menjadi bahan dasar detergen, sabun, minyak, bahan fermentasi anggur, lapisan cat, minyak pelumas, lilin, bahan semir furniture, bahan peledak, minyak bahan tekstil, hingga biodiesel yang dicanangkan akan menjadi sumber energi alternatif.

Minyak inti sawit (PKO) mempunyai produk turunan yang relatif lebih sedikit dibandingkan dengan CPO. Tiga produk turunan PKO yakni fatty acid, lauric acid, dan myristic acid. Selain tiga zat ini, yang biasa ditemui adalah margarin, pengganti mentega, lemak khusus, es krim, krim kopi, gula-gula, krim buatan, sabun, deterjen, sampo, dan kosmetik.

Bungkil

Bungkil adalah hasil sisa dari pengolahan CPO dan PKO. Hasil sisa ini dapat dijadikan komponen bagi makanan ternak seperti dedak bagi sapi dan kerbau.

Tempurung

Tempurung sawit dapat diolah menjadi tiga produk yakni tepung tempurung, arang, dan bahan bakar. Untuk arangnya dapat diolah lagi menjadi briket arang, karbon aktif, dan asam organik.

Serat

Sama halnya serat kayu yang dimanfaatkan untuk menjadi bubur kertas, serat kelapa sawit pun dapat menjadi bahan selulosa yang dapat diolah menjadi kertas.

Tandan

Tandan sawit merupakan sumber pupuk kalium. Oleh sebab itu, tandan banyak diproses menjadi pupuk organik melalui fermentasi.

Dengan berbagai macam produk turunannya, kelapa sawit terlihat sebagai industri yang sangat menjanjikan. Walaupun begitu, satu hal yang patut dijadikan catatan adalah sawit di Indonesia masih lebih berfokus pada industri hulu yaitu lebih banyak di perkebunan dan masih kurang di pengolahan. Berdasarkan data PPKS (Pusat Penelitian Kelapa Sawit), pada 2008 sekitar 75 persen dari semua CPO Indonesia diekspor ke pasar internasional seperti India, Eropa, dan China. Sisanya, sekitar 25 persen, digunakan untuk kebutuhan dalam negeri. Salah satu ironi yang terjadi adalah CPO yang diekspor masuk kembali ke Indonesia dalam bentuk produk turunannya. Hal ini turut menjadi perhatian bersama demi terus mengembangkan industri hilir dan menghilangkan ketergantungan pada produk luar. (RR)