Pages

Thursday, September 12, 2019

Selamat Jalan Bapak Bacharuddin Jusuf Habibie


Innalilllahi wainna ilaihi rojiun


Telah berpulang kerahmatullah Bapak BJ Habibie pada hari Rabu 11 September 2019 semoga Almarhum Husnul Khotimah.








Sekilas Sejarah, Karya dan Karir Prof. Dr. Ing. H. B. J. Habibie FREng

(Beberapa cuplikan dari berbagai sumber)


Mengenal Sosok B.J. Habibie

Berikut cuplikan Artikel dari Wikipedia

Habibie dan Keluarga

B.J. Habibie merupakan anak keempat dari delapan bersaudara, pasangan Alwi Abdul Jalil Habibie dan R.A. Tuti Marini Puspowardojo. Ayahnya yang berprofesi sebagai ahli pertanian yang berasal dari etnis Gorontalo[14][15], sedangkan ibunya dari etnis Jawa.[16]
Alwi Abdul Jalil Habibie (Ayah dari B.J. Habibie) memiliki marga "Habibie", salah satu marga asli dalam struktur sosial Pohala'a (Kerajaan dan Kekeluargaan)[17] di Gorontalo. Sementara itu, R.A. Tuti Marini Puspowardojo (Ibu dari B.J. Habibie) merupakan anak seorang dokter spesialis mata di Jogjakarta, dan ayahnya yang bernama Puspowardjojo bertugas sebagai pemilik sekolah.[18]
Marga Habibie dicatat secara historis berasal dari wilayah Kabila, sebuah daerah di Kabupaten Bone BolangoProvinsi Gorontalo[19][20]. Dari silsilah keluarga, kakek dari B.J. Habibie merupakan seorang pemuka agama, anggota majelis peradilan agama serta salah satu pemangku adat Gorontalo yang tersohor pada saat itu.[21] Keluarga besar Habibie di Gorontalo terkenal gemar beternak sapi, memiliki kuda dalam jumlah yang banyak, serta memiliki perkebunan kopi. Sewaktu kecil, Habibie pernah berkunjung ke Gorontalo untuk mengikuti proses khitanan dan upacara adat yang dilakukan sesuai syariat islam dan adat istiadat Gorontalo.[22]

Pernikahan

Pada awalnya, kisah cinta antara Habibie dan Ainun bermula sejak masih remaja, ketika keduanya masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Namun, keduanya baru saling memperhatikan ketika sama-sama bersekolah di SMA Kristen Dago Bandung, Jawa Barat.[23] Komunikasi mereka akhirnya terputus setelah Habibie melanjutkan kuliah dan bekerja di Jerman, sementara Ainun tetap di Indonesia dan berkuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Dokumentasi Pernikahan B.J. Habibie dan Ainun menggunakan Adat Pernikahan Gorontalo (Resepsi Pernikahan)
B.J. Habibie menikah dengan Hasri Ainun Besari pada tanggal 12 Mei 1962 di Rangga Malela, Bandung. Akad nikah Habibie dan Ainun digelar secara adat dan budaya Jawa, sedangkan resepsi pernikahan digelar keesokan harinya dengan adat dan budaya Gorontalo di Hotel Preanger. Ketika menikah dengan Habibie, Ainun dihadapkan dengan dua pilihan, memilih untuk tetap bekerja di rumah sakit anak-anak di Hamburg atau berperan serta berkarya di belakang layar sebagai istri dan ibu rumah tangga[24]. Setelah berdiskusi dengan Habibie, Ainun pun akhirnya memilih opsi yang kedua. Dari pernikahan keduanya, Habibie dan Ainun dikaruniai dua orang putra, yaitu Ilham Akbar Habibie dan Thareq Kemal Habibie.[25]

Dokumentasi Pernikahan B.J. Habibie dan Ainun menggunakan Adat Pernikahan Jawa (Akad Nikah)

Pendidikan


B. J. Habibie pernah menuntut ilmu di Sekolah Menengah Atas Kristen Dago.[26] Habibie kemudian belajar tentang keilmuan teknik mesin di Fakultas Teknik Universitas Indonesia Bandung (sekarang Institut Teknologi Bandung) pada tahun 1954. Pada 1955–1965, Habibie melanjutkan studi teknik penerbangan, spesialisasi konstruksi pesawat terbang, di RWTH AachenJerman Barat, menerima gelar diplom ingenieur pada 1960 dan gelar doktor ingenieur pada 1965 dengan predikat summa cum laude.









Penemu Teori Crack Progression

Faktor Habibie: Lebih Aman dan Ringan


Perhitungan titik retaknya menjadi tonggak teknologi jagat dirgantara. Patennya diakui dunia internasional. Teori, Faktor, dan Metode Habibie pun masuk literatur ilmu penerbangan.
KULIT luarnya bisa saja terlihat halus mulus tanpa cacat. Tapi, siapa tahu sisi dalamnya keropos. Ketidakpastian inilah yang dihadapi industri pesawat terbang sampai 40 tahun lalu. Pemakai dan produsennya sama-sama tidak tahu persis sejauh mana bodi pesawat terbang masih andal untuk dioperasikan. Akibatnya memang bisa fatal.

Pada awal 1960-an, musibah pesawat terbang masih sering terjadi karena kerusakan konstruksi yang tak terdeteksi. Kelelahan (fatique) pada bodi masih sulit terdeteksi dengan keterbatasan perkakas. Belum ada scanner dengan sensor laser, yang didukung unit pengolah data komputer, untuk mengatasi persoalan rawan ini.
Titik rawan kelelahan ini biasanya pada sambungan antara sayap dan badan pesawat terbang, atau antara sayap dan dudukan mesin. Elemen inilah yang mengalami guncangan keras dan terus-menerus, baik ketika tubuhnya lepas landas maupun mendarat. Ketika lepas landas, sambungan menerima tekanan udara (uplift) yang besar. Ketika menyentuh landasan, bagian ini pula yang menanggung hempasan tubuh pesawat. Kelelahan logam pun terjadi, dan itu awal dari keretakan (crack).
Titik retak, yang kadang mulai dari ukuran 0,005 milimeter itu, terus merambat. Semakin hari kian memanjang dan bercabang-cabang. Kalau tidak terdeteksi, taruhannya mahal, karena sayap bisa sontak patah saat pesawat tinggal landas (airborn). 

Dunia penerbangan tentu amat peduli, apalagi saat itu pula mesin-mesin pesawat mulai berganti dari propeller ke jet. Potensi fatique makin besar. Pada saat itulah muncul anak muda jenius yang mencoba menawarkan solusi. Usianya baru 32 tahun. Postur tubuhnya kecil, namun pembawaannya sungguh enerjik. 
Yang paling membanggakan, orang yang membuat decak kagum para ilmuan dunia itu adalah tulen orang Indonesia. Dialah Dr. Ing Bacharuddin Jusuf Habibie, laki-laki kelahiran Pare-pare, Sulawesi Selatan, pada 25 Juni 1936."Pak Habibie-lah yang menemukan bagaimana rambatan titik crack itu bekerja," kata Jusman Syafi'i Djamal, lulusan Teknik Mesin Penerbangan ITB, tahun 1973, yang juga bekas Direktur Utama PT Dirgantara Indonesia. 

Berkat kajian Habibie, letak titik retak bisa diprediksi sejak dini, sekaligus menghitung cara kerja perambatannya. Baik dari sisi waktu, arah, penyebab, sekaligus besarnya kecepatan yang mengakibatkan crack.Perhitungannya itu sungguh rinci, sampai pada hitungan atomnya. Oleh dunia penerbangan, teori Habibie ini lantas dinamakan crack progression. "Dari situlah Habibie dikenal dengan julukan Mr. Crack," kata Jusman, yang bekerja dengan Habibie sejak duduk di bangku kuliah.
Dalam industri penerbangan, menurut Jusman, crack progression sangatlah penting. Sebelumnya, untuk mendapatkan kapastian letak crack, biasanya dilakukan dengan uji lelah konstruksi. 
Untuk satu hal ini saja, satu konstruksi perlu waktu tiga hingga empat tahun. Berkat jasa Habibie, uji lelah ini cukup dua tahun saja. "Karena posisi persis crack yang akan timbul bisa dideteksi lebih cepat," kata deputi manajer pembuatan pesawat N-250, tahun 1992-1994, itu.
Tentunya teori ini membuat pesawat lebih aman. Tidak saja bisa menghindari risiko pesawat jatuh mendadak, juga membuat pemeliharaannya lebih gampang dan murah. Periode inpeksinya bisa lebih panjang, suku cadang tidak boros, dan rentang overhaul lebih lebar. Semua itu tanpa mengorbankan aspek keselamatannya.

Temuan crack progression membuka jalan bagi Habibie untuk tmenerapkan teknologi berikutnya. Yakni, teknologi rancang bangun konstruksi pesawat yang lebih ringan, namun punya daya angkut besar. Teknik ini sebelumnya telah ia praktekkan pula saat merancang konstruksi gerbong kereta api.
Sebelum titik crack bisa dideteksi secara dini, para insinyur mengantisipasi kemungkinan muncul keretakan konstruksi dengan cara meninggikan safety factor (SF) atau faktor keselamatannya. Caranya, meningkatkan kekuatan bahan konstruksi jauh di atas angka kebutuhan teoretisnya. Akibatnya, material yang diperlukan lebih berat. Untuk pesawat terbang, material aluminium dikombinasikan dengan baja.Setelah titik crack bisa dihitung, maka derajat SF bisa diturunkan. Misalnya, dengan memilih campuran material sayap dan badan pesawat yang lebih ringan. Porsi baja dikurangi, aluminium makin dominan dalam bodi pesawat terbang. 
Dalam dunia penerbangan, terobosan ini tersohor dengan sebutan Faktor Habibie.Menurut Jusman, Factor Habibie bisa meringankan operating empty weight (bobot pesawat tanpa berat penumpang dan bahan bakar) hingga 10% dari bobot sebelumnya. Bahkan, angka penurunan ini bisa mencapai 25%, setelah Habibie menyusupkan material komposit ke dalam tubuh pesawat.Namun, pengurangan berat ini tak membuat maksimum take off weight-nya (total bobot pesawat ditambah penumpang dan bahan bakar) ikut merosot. Dengan begitu, secara umum daya angkut pesawat meningkat dan daya jelajahnya makin jauh. Dengan demikian, secara ekonomi, kinerja pesawat bisa ditingkatkan.Faktor Habibie ternyata juga berperan dalam pengembangan teknologi penggabungan bagian per bagian kerangka pesawat. Sehingga sambungan badan pesawat yang silinder dengan sisi sayap yang oval mampu menahan tekanan udara saat tubuh pesawat lepas landas. Begitu juga dengan sambungan badan pesawat dengan landing gear jauh lebih kokoh, sehingga mampu menahan beban saat pesawat mendarat. Faktor mesin jet yang menjadi penambah potensi fatique menjadi turun mudaratnya.

Riwayat keilmuan Habibie dimulai ketika ia mendapat beasiswa dari pemerintah untuk belajar di Technische Hochschule Die Facultaet Fue Maschinenwesen, Aachen, Jerman, pada 1956. Selama setahun sebelumnya, B.J. Habibie tercatat sebagai mahasiswa ITB. Setelah mengantongi gelar diploma ingenieur jurusan konstruksi pesawat terbang, tahun 1960, sambil melanjutkan kuliahnya, ia menjadi Asisten Riset Ilmu Pengetahuan Institut Konstruksi Ringan di kampusnya.Otak Habibie makin kelihatan encer kala gelar doctor ingenieur-nya disabet dengan predikat suma cum laude, tahun 1965. Rata-rata nilai mata kuliahnya 10. Prestasi ini membuatnya dipercaya jadi Kepala Departemen Riset dan Pengembangan Analisis Struktur di Hamburger Flugzeugbau (HFB). Tugas utamanya adalah memecahkan persoalan kestabilan konstruksi bagian belakang pesawat Fokker 28.

Sungguh luar biasa, dalam waktu enam bulan, masalah itu terpecahkan oleh Habibie. Ia meraih kepercayaan lebih bergengsi, yakni mendesain utuh sebuah pesawat baru. Satu di antara buah karyanya adalah prototipe DO-31, pesawat baling-baling tetap pertama yang mampu lepas landas dan mendarat secara vertikal, yang dikembangkan HFB bareng industri pesawat terbang Donier. Rancangan itu lalu dibeli oleh Badan Antariksa dan Luar Angkasa Amerika Serikat (NASA).Habibie hanya sampai tahun 1969 di HFB, karena dilirik oleh Messerschmitt Boelkow Blohm Gmbh (MBB), industri pesawat terbesar yang bermarkas di Hamburg. Di tempat yang baru ini, karier Habibie meroket. Jabatan Vice President/Direktur Teknologi MBB disabetnya tahun 1974. Hanya Habibie-lah orang di luar kebangsaan Jerman yang mampu menduduki posisi kedua tertinggi itu.Di tempat ini pula Habibie menyusun rumusan asli di bidang termodinamika, konstruksi ringan, aerodinamika, dan crack progression. 
Dalam literatur ilmu penerbangan, temuan-temuan Habibie ini lantas dikenal dengan nama Teori Habibie, Faktor Habibie, dan Metode Habibie. Paten dari semua temuan itu diakui dan dipakai oleh dunia penerbangan internasional.Pesawat Airbus A-300, yang diproduksi konsorsium Eropa (Europian Aeronautic Depence and Space), tak lepas dari sentuhan Habibie. Maklumlah, dalam konsorsium ini tergabung Daimler, produsen Mercedes-Benz yang mengakuisisi MBB. Sehingga Habibie berhak atas royalti dari teknologi yang dipakai dalam kendaraan udara berbadan lebar itu. Selain dari Airbus, Habibie juga mendapat royalti dari proyek-proyek roket di banyak negara, yang banyak menggunakan teknologi konstruksi ringannya.

Tahun 1978, Habibie dipanggil pulang ke Tanah Air oleh Presiden Soeharto. "Pesan Pak Harto, di Indonesia saya boleh berbuat apa pun asalkan tidak melakukan revolusi," kata penggemar lagu Sepasang Mata Bola ini. Kemudian ayah Ilham Akbar Habibie dan Kemal Thareq Habibie hasil perkawinan dengan dr. Hasri Ainun Besari, tahun 1962, ini memperoleh "mainan" PT Industri Pesawat Terbang Nurtanio (sekarang PT Dirgantara Indonesia). Hasilnya, antara lain, pesawat CN-235 dan rancangan pesawat N-250.


Prestasi dan keilmuan Habibie mendapat pengakuan dunia internasional. Ia menjadi anggota kehormatan berbagai lembaga di bidang dirgantara. Antara lain, anggota kehormatan di Gesselschaft fuer Luft und Raumfahrt (Lembaga Penerbangan dan Angkasa Luar) Jerman Barat, The Royal Aeronautical Society London, Inggris, The Royal Swedish Academy of Engineering Sciences, Swedia, Academie Nationale de I'Air et de I'Espace', Prancis, danThe US Academy of Engineering, Amerika Serikat.


Sedangkan dalam bentuk penghargaan, Habibie menerima Award Von Karman, tahun 1992. Penghargaan di bidang digantara yang boleh dibilang gengsinya hampir setara dengan Hadiah Nobel. Dua tahun kemudian, ia menerima penghargaan yang tak kalah bergengsi, yakni Edward Warner Award.


Di bidang pemerintahan, Habibie menjadi Menteri Riset dan Teknologi paling lama. Sampai akhirnya dipercaya mendampingi Pak Harto sebagai wakil presiden, pada 1997. Setelah rezim Orde Baru tumbang, tahun 1998, Habibie menerima tongkat estafet presiden. Namun, setelah Pemilu 1999, karier politiknya terhenti. Sejak itu, Habibie lebih sering menetap di "rumah" keduanya, Jerman.


Hidayat Gunadi dan Hatim Ilwan

http://arsip.gatra.com/2004-08-13/majalah/artikel.php?pil=23&id=43663