“Kita bangsa besar,
kita bukan “bangsa tempe”, kita tidak akan mengemis, kita tidak akan
minta-minta apalagi jika bantuan-bantuan itu diembel-embeli dengan
syarat ini syarat itu! Lebih baik makan gaplek tapi merdeka, daripada
makan bestik tetapi budak … Tradisi Bangsa lndonesia bukan “tradisi
tempe”. Kita dizaman purba pernah menguasai perdagangan di seluruh Asia
Tenggara, pernah mengarungi lautan untuk berdagang sampai ke Arabia atau
Afrika atau Tiongkok.” Soekarno, dalam Pidato kemerdekaan tanggal 17 agustus 1963.
Kita ini memang bangsa yang pernah besar, mungkin karena tradisi kita
tradisi tempe bukan tradisi yang bukan tempe. Protein kacang kedelai
itulah yang mengalir, berkobar-kobar didalam pipa-pipa kapiler darah
bangsa Indonesia. Kita memang bukan bangsa yang berperawakan besar,
seperti Eropa Timur dan India, kita bangsa yang berperawakan kecil tapi
berkekuatan besar, karena vitamin dari tempe itulah, yang berkobar-kobar
didalam otot manusia-manusia Nusantara. Maka aku katakan pada kalian,
aku ceritakan dan dendangkan pada kalian, sebuah ceritera! Sebuah
sejarah! Sebuah parodi! Yang telah hilang dan terkubur dalam khasanah
literatur kita, yang telah terputus tali kaitnya dengan sejarah
kebangkitan bangsa kita. Sebuah cerita tentang tempe, amma ba’du!
SYAHDAN! Beginilah ceritanya.
Terhitung setelah
nyaris 200 tahun ketika Guttenberg menemukan mesin cetak dan
menggemparkan dunia dan me-revolusi sejarah tata-tulis dan pewacanaan,
di Indonesia, sekitar abad ke 16 tepatnya di pulau Jawa, teknologi anak
bangsa sedang melahirkan sebuah piranti teknologi yang tak kalah lebih
revolusioner dan radikal, yaitu alat pembuat tempe. Yang dikatakan Ong
Hok Ham sebagai “Sebuah hadiah dari jawa untuk dunia”.
Terhitung sejak di
temukannya teknologi pembuat tempe, bangsa kita entah sengaja ataupun
tidak sengaja tidak mendistribusikan produk ini ke dunia, melainkan
mengkonsumsi produk ini secara lokal, dengan kata lain produk tempe
selama 400 tahun keberadaannya menjadi produk yang eksklusif hanya
dinikmati dan di-apresiasikan anak bangsa Indonesia saja. Referensi
tertua tentang tempe ditemukan dalam khasanah pustaka pada tahun 1870
yaitu didalam Javanese-Dutch Dictionary, diperhitungkan sejak tahun ini
juga kemungkinan bangsa Barat yang kala itu sebagai kekuatan imperium
penjajah, ikut mengkonsumsi tempe seperti layaknya bangsa Indonesia.
Tidak lama kekuatan-kekuatan anak Bangsa yang sebelumnya tidak pernah
tumbang, seperti kekuatan kesulatanan Atjeh yang selama ini berdiri
gagah mempecundangi imperium Belanda, yang membawa mereka kepada krisis
satu kedalam krisis lain, mengantarkan mereka dari rencong ke kurambit,
menjadi jatuh tepatnya pada tahun 1903 yaitu tiga puluh tiga tahun
setelah Belanda makan tempe. Apakah ada hubungan antara kekalahan
Kesultanan Aceh dengan akibat Belanda makan tempe selama selang proses
tiga puluh tiga tahun? Anda sendiri yang menilai, Tuhan Yang Maha Tau
kepastiannya..hehe
Menurut Prof. Dr.
Ir. Made Astawan, MS proses tempe yang unik dan melibatkan enzim
pencernaan yang hal itu keluar secara brilliant dari lapan tempe,
menjadikan tempe secara unik dan ajaib menjadi makanan yang kandungan
protein, karbonhidrat dan vitaminnya lebih mudah terserap, diterima, dan
dicerna oleh tubuh, sekalipun itu bila diperbandingkan dengan bahan
dasarnya yaitu kedelai.
Kayanya kandungan
protein dan vitamin dalam tempe, itu baru satu hal, tetapi mudahnya
kekayaan ini untuk dicerna dan dimanfaatkan oleh tubuh dengan
meminimalisir buangannya adalah hal lain yang tak kalah penting, dalam
percontohannya Professor Astawan mengatakan, bahkan seorang bayi yang
kurang gizi, ketika diberikan tempe dapat langsung pulih dari keadaan
kekurangan gizinya. Kefleksilbelan dan ke-unikan tempe membuat tempe
menjadi makanan yang bisa di-apresiasikan oleh semua umur, dari mulai
balita hingga ke-taraf manula. Kandungan gizi dan protein didalamnya
menjadikan tempe cukup valid untuk hadir sebagai pengganti daging.
Kalian pernah lihat Haji
Agoes Salim? Kalau kalian belum pernah lihat, aku beritahu saja, dia itu
orang tua dalam usia, namun ketika dia naik diatas podium, dia arahkan
pemikirannya, dia menunjukkan semangat muda, kobaran-kobaran semangat
yang jarang dimiliki oleh orang se-usianya. Hal ini menjadi sesuatu
ke-khasan bangsa Indonesia, “wajah tua jiwa radikal”, bisakah kita
mengatakan kalau hal ini akibat Haji Agoes Salim diberkati Allah? Pasti,
tidak ada daya upaya, hingga tak akan jatuh selembar daunpun tanpa
se-izinNya. Tapi selain itu bisakah juga ini sebagai akibat karena dia
makan tempe dan menyerap anti-oksidan yang ada didalam tempe? Saya
katakan pada kalian, mengapa tidak bisa?
Proses penuaan adalah
hal yang wajar terjadi pada diri setiap mahluk hidup. Gizi dan sistem
kekebalan tubuh bukan cuma menyumbangkan kesehatan dan menangkal
penyakit didalam tubuh kita, tetapi juga sebaliknya dia memicu
degenerasi organ dan mempercepat penuaan, begitu juga radikal bebas.
Anti-oksidan adalah salah satu zat yang menghambat degenerasi organ
tersebut.
Tentu saja kita
ini bangsa tempe, karena zat-zat tempe itu juga mungkin yang mendorong
kita nekad untuk meladeni bedil sundut dengan celurit, bahkan terkadang
lebih parah lagi yaitu bambu runcing. Tentu saja kita ini bangsa tempe,
karena tempe tidak menjadi kaku dengan dinginnya cuaca, tidak alot
bagaikan karet oleh kulkas waktu, tempe tetap enak dan tidak mengurangi
kelegitan rasanya sekalipun diterpa angin alam di angkringan. Selama 400
tahun Indonesia menjadi satu-satunya bangsa didunia ini yang memakan
tempe, tidak ada bangsa lain yang kebagian, kita melahapnya sendiri,
memunggungi tubuh-tubuh jangkung orang Belanda dan membiarkan tudung
kita menutupi tempe dari jamahan tangan mereka.
Kita mungkin bukan
bangsa kaya, bukan bangsa mandiri, bukan bangsa cerdik, bukan juga
bangsa yang merdeka hingga detik ini. Tetapi kita tidak bisa mengelak
kalau diri kita ini adalah bangsa tempe. Memang kita ini bangsa tempe,
yang pernah besar, dan pernah juga kecil, tapi besar kecil lebar luas
entah apapun juga itu, kita lalui dengan tempe.
Maaf Bung Karno, saya
berlawanan dan tidak sepakat dengan pidatomu kala itu pada masa
sekarang, dan mulai hari ini akan kuteriakan kepada dunia Bahwa :
“Kita
bangsa besar, kita memang “bangsa tempe”, karena tempe-lah anak negeri
ini banyak yang kreatif dan inovatif, karena tempelah kami menjadi orang
yang pekerja keras, meski sifat tempe itu lembut, bukan berarti kami
pengecut dan ciut, meski tempe itu mudah patah, namun ketika digoreng
dia renyah, begitu juga ketika kami di jajah, kami takkan menyerah dan
lemah sebelum penjajah menyerah”. [Paradoks] Yogyakarta, Dini hari, Bolean Mei 2011 tertanda “Baru Belajar”.
Sumber:
Kompasiana